Kementerian Keuangan mencatat penyerapan anggaran kesehatan Covid-19 baru mencapai 5,12% dari total alokasi Rp 87,55 triliun. Masih rendahnya realisasi ini terutama disebabkan oleh keterlambatan pembayaran klaim biaya perawatan dan insentif tenaga kesehatan.
"Jadi sebenarnya ini sudah dilaksanakan tetapi pencairannya belum," kata Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kemenkeu Kunta Wibawa Dasa dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (8/7).
Kunta memaparkan, total belanja kesehatan untuk Covid-19 dibagi ke dalam tiga pos, yakni kepada BNPB Rp 3,5 triliun, tambahan belanja stimulus Rp 75 triliun, dan insentif perpajakan Rp 9,05 triliun.
Secara perinci, anggaran BNPB dialokasikan untuk pengadaan alat pelindung diri, alat kesehatan, test kit, klaim biaya perawatan, mobilisasi dan logistik, serta karantina dan pemulangan WNI di luar negeri.
Kemudian, tambahan belanja stimulus terdiri dari insentif tenaga kesehatan, santuan kematian tenaga kesehatan, bantuan iuran BPJS Kesehatan, dan belanja penanganan kesehatan lainnya. "Untuk tambahan belanja ini memang yang baru di dipa-kan sekitar Rp 23 triliun," ujar Kunta.
(Baca: Utang Klaim Jiwasraya Membengkak Jadi Rp 18 Triliun)
Sementara insentif perpajakan terdiri dari pembebasan PPh Pasal 23 untuk jasa dan honor tenaga kesehatan, pembebasan PPN DTP, dan pembebasan BM impor.
Meski demikian, ia menyebut upaya percepatan pembayaran insentif tenaga kesehatan akan dilakukan pada bulan ini. Percepatan dilakukan setelah adanya simplifikasi prosedur dengan adanya revisi Keputusan Menteri Kesehatan. Sementara untuk klaim biaya perawatan akan dilakukan penyediaan uang muka untuk akselerasi penyerapan.
Dalam bahan paparan Kunta, terdapat 7 permasalahan umum lambatnya penyerapan anggaran kesehatan. Pertama, realisasi pengadaan alat kesehatan terhadap total kebutuhan masih sangat rendah. Kedua, gap yang sangat tinggi antara realisasi anggaran dengan realisasi fisik atau keterlambatan proses penagihan.
Ketiga, banyak pemerintah daerah yang tidak cepat memproses data dukung insentif tenaga kesehatan. Keempat, proses verifikasi klaim di BPJS Kesehaatn relatif lambat.
(Baca: BI Proyeksi Kemiskinan Bertambah jadi 30,3 Juta Orang Imbas Pandemi)
Kelima, BNPB dan Kementerian Kesehatan masih dalam tahap usulan pemanfaatan dana. BNPB juga memberikan santuan kematian yang berpotensi overlapping.
Keenam, proses verifikasi yang perlu ditingkatkan dari sisi koordinasi dan sinergi , baik dengan pemda maupun BPJS Kesehatana karena ada kekhawatiran duplikasi.
Ketuju, kendala pengaturan mobilisasi dan persyaratan kriteria tenaga kesehatan yang menangani Covid-19.
Dengan demikian, diperlukan beberapa tindak lanjut seperti mengurangi potensi overlapping Kemenkes dan BNPB terkait pembiyaaan insentif dan santunan kematian tenaga kesehatan. Lalu, penyiapan RPMK untuk menanggapi Keputusan Menteri Kesehatan, percepatan pada provinsi dengan penyerapan masih rendah, serta potensi tidak terserap sebesar Rp 30 triliun.