Hasil Riset: "Cetak Uang" Belum Pengaruhi Inflasi & Mata Uang di Asia

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.
Ilustrasi. UBS yakin bahwa masih terlalu dini bagi investor untuk mengkhawatirkan dampak ekspansi likuiditas pada inflasi atau melemahnya mata uang.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Agustiyanti
10/8/2020, 19.23 WIB

Namun hasilnya, simpanan tersebut berpotensi menyumbang lebih 2% dari percepatan pertumbuhan kredit domestik di Malaysia dan Thailand. Kontribusi mungkin lebih dari 4% di negara di Filipina, Indonesia dan India.

Meski begitu, ada kekhawatiran atas meningkatnya kasus Covid-19 di beberapa negara seperti Hong Kong, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Hal ini berisiko membuat pemerintah kembali memberlakukan pembatasan sosial.

"Itu juga bisa menunjukkan defisit fiskal yang lebih luas dan lebih banyak tekanan bagi bank sentral untuk memberikan dukungan likuiditas," seperti dikutip dari riset UBS.

Namun, pengalaman masa lalu juga menunjukkan pembatasan sosial berarti permintaan domestik yang lebih lemah dan surplus perdagangan yang lebih besar. Itu menurunkan risiko inflasi dan mata uang yang terkait dengan ekspansi likuiditas  bank sentral dan pelonggaran kebijakan moneter.

Di Indonesia, pemerintah telah memberikan penempatan dana senilai Rp 30 triliun kepada bank-bank milik pemerintah, yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara. Dari penempatan dana tersebut, bank diharapkan mampu menyalurkan kredit tiga kali lipat, yaitu Rp 90 triliun.

Selain itu, pemerintah juga telah menempatkan dana di beberapa bank pembangunan daerah. Nilai dari penempatan dana di BPD mencapai Rp 11,5 triliun. Pemerintah berharap, bahwa BPD mampu menyalurkan kredit dua kali lipat dari penempatan dana tersebut.

 

Halaman:
Reporter: Ihya Ulum Aldin