Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai membelanjakan anggaran Covid-19 tak semudah menyiram toilet. Hal ini terkait realisasi anggaran belanja penanganan Covid-19 yang baru mencapai Rp 151,25 triliun atau 21,8% dari pagu Rp 695,2 triliun.
Menkeu beralasan membelanjakan anggaran tersebut tidak bisa sembarangan karena dana yang digelontorkan akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan beberapa menteri masih relatif baru dan belum paham soal birokrasi.
"Beberapa menteri masih baru. Tidak semua benar-benar paham birokrasi, belum pernah bekerja di pemerintah," kata Sri Mulyani dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (19/8).
Di awal masa kerja para menteri tersebut, Covid-19, sambung Menkeu, langsung menghantam kebutuhan anggaran kementeriannya. Ada yang harus dipotong dan diprioritaskan.
Hal iini pun menjadi tantangan tersendiri para menteri baru untuk mengatur anggarannya. Belum lagi, menteri baru harus melakukan hal tersebut sambil bekerja dari rumah.
Menurut Sri Mulyani, meski bekerja dari rumah merupakan cara yang efektif, namun diskusi tetap akan lebih maksimal jika dilakukan secara langsung. "Semua ini menantang sekali bagi seluruh pemerintah di dunia, bukan hanya di Indonesia," ujarnya.
Adapun realisasi belanja penanganan Covid-19 sebesar Rp 151,25 triliun terdiri dari belanja di bidang kesehatan Rp 7,1 triliun, perlindungan sosial Rp 86,5 triliun, dukungan UMKM Rp 32,5 triliun, insentif usaha Rp 16,6 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga dan pemda Rp 8,6 triliun.
Untuk pos anggaran kesehatan yang dialokasikan Rp 87,55 triliun, sebanyak Rp 45,9 triliun sudah masuk dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA), dan Rp 3,8 triliun tanpa DIPA karena berbentuk insentif. Sementara, yang belum masuk DIPA Rp 37,9 triliun, tediri dari Rp 7,1 triliun atau 14,4% dari DIPA dan sisanya tanpa DIPA.
Realisasi anggaran kesehatan meliputi insentif kesehatan pusat dan daerah Rp 1,8 triliun, santunan kematian 54 tenaga kesehatan Rp 16,2 miliar, gugus tugas Covid-19 Rp 3,2 triliun, serta insentif bea masuk dan PPN kesehatan Rp 2,1 triliun.
Alokasi anggaran program perlindungan sosial yang sebesar Rp 203,91 triliun terdiri dari yang sudah DIPA Rp 177,1 triliun dan belum DIPA Rp 26,7 triliun. Realisasi itu terdiri dari PKH Rp 26,6 triliun, kartu sembako Rp 25,8 triliun, bantuan sembako Jabodetabek Rp 3,2 triliun, bantuan tunai non-Jabodetabek Rp 16,5 triliun, kartu prakerja Rp 2,4 triliun, diskon listrik Rp 3,1 triliun, dan BLT dana desa Rp 8,8 triliun.
Kemudian anggaran untuk sektoral k/l dan pemda yang sebesar Rp 106,5 triliun sudah masuk DIPA Rp 33,5 triliun dan belum masuk DIPA Rp 72,6 triliun. Realisasi untuk sektoral k/l dan pemda terdiri dari padat karya k/l Rp 8,6 triliun, dana insentif daerah pemulihan ekonomi Rp 13,4 miliar, dan dana alokasi khusus fisik Rp 1,5 miliar.
Selanjutnya, anggaran insentif dunia usaha Rp 120,61 triliun yang merupakan anggaran tanpa DIPA Rp 70 triliun dan belum DIPA Rp 50,6 triliun. Anggaran insentif dunia usaha itu mencakup, PPh 21 ditanggung pemerintah Rp 1,18 triliun, pembebasan PPh 22 impor Rp 3,34 triliun, pengurangan angsuran PPh 25 Rp 4,27 triliun, pengembalian pendahuluan PPN Rp 3,6 triliun, dan penurunan tarif PPh badan Rp 4,17 triliun.
Untuk dukungan bagi UMKM dengan alokasi Rp 123,47 triliun yang sudah masuk DIPA Rp 41,2 triliun, tanpa DIPA Rp 78,8 triliun, dan belum DIPA R p3,4 triliun. Realisasi dukungan bagi UMKM terdiri dari penempatan dana Rp 30 triliun, pembiayaan investasi LPDB Rp 1 triliun, PPh Final UMKM DTP Rp 200 miliar, dan subsidi bunga Rp 1,31 triliun.