Penjualan Anjlok hingga 60% Ancam Produksi Komoditas Pertanian

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz.
Aktivitas jual beli tanpa menerapkan protokol kesehatan di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/7/2020).
Penulis: Rizky Alika
26/8/2020, 18.22 WIB

Pandemi Covid-19 telah membuat daya beli masyarakat menurun. Hal ini juga dirasakan oleh komoditas pangan yang menurut Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri, penjualannya turun antara 40-60% dibandingkan sebelum pandemi.

Dia menilai turunnya penjualan ini dikhawatirkan menghambat produksi pertanian. "Kalau produksi tidak terserap, bulan berikutnya petani tidak mau menanam karena takut rugi. Berarti produksi berpotensi tidak aman dan harga bisa tinggi," ujarnya saat dihubungi Katadata, Rabu (26/8).

Penurunan penjualan juga terjadi saat hari libur nasional, seperti libur 17 Agustus dan Tahun Baru Hijriyah pada pekan lalu. Padahal, libur panjang biasanya menjadi momentum peningkatan penjualan pangan.

Menurutnya, penurunan penjualan turut berdampak pada penurunan harga. Penurunan harga terjadi pada hampir seluruh komoditas, kecuali beras, gula, dan telur ayam. Harga beras dinilai stabil karena adanya pembagian bantuan sosial (bansos) sembako.

Sedangkan harga gula dan telur ayam dinilai sulit turun. Ia mencatat, harga gula pasir di pasar DKI sekitar Rp 14.500-15.000 per kg, sementara harga telur ayam kisaran Rp 25.800 per kg.

Sebaliknya, harga pangan yang dikhawatirkan naik pada September yaitu bawang merah dan cabai. Namun, kenaikan harga diperkirakan akibat masuknya musim kemarau.

Petani Berharap Dibantu Stimulus

Dengan adanya penurunan omzet, dia berharap pemerintah dapat memberikan stimulus kepada petani, pedagang, hingga usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Stimulus tersebut dapat berupa bantuan modal atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk menjaga keberlangsungan bisnis.

"Biasanya mereka mencari alternatif ke rentenir, namun ini bisa mencekik leher mereka. Jadi perlu stimulus," ujar Abdullah.

Sementara itu pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan bahwa harga sayuran jatuh akibat tidak terserap pasar. "Petani sayuran di sejumlah daerah menjerit," kata dia.

Pasar Induk juga dinilai tidak mampu menampung pasokan petani karena kapasitasnya terbatas. Bila tidak terserap pasar, kontinuitas produksi dapat terhambat. Dengan demikian, petani tidak berproduksi dan berpotensi kelaparan.

Selanjutnya, komoditas pangan tertentu yang mestinya dihasilkan petani dapat mengalami kekosongan stok karena petani tidak berproduksi. Bila kondisi tersebut terjadi, konsumen tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar makanannya.

Oleh karena itu, menurutnya harus ada kebijakan untuk menyerap produk pangan petani. Bantuan dari pemerintah tidak harus berupa subsidi kepada petani. "Kalau ada kebijakan yang bisa memastikan produk petani terserap, itu sudah lebih dari cukup," ujar dia.

Meski begitu, Khudori menilai saat ini belum ada kebijakan yang membantu penyerapan produk petani. Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) juga dinilai tak menyerap produk petani lantaran menggunakan perantara swasta atau pedagang.

Ia pun menilai, stimulus bansos atau BLT dapat disambungkan dengan penyerapan produk petani. Upaya ini semestinya dilakukan oleh pemerintah daerah.

Berkaca dari negara lain, pemerintah Amerika Serikat dan Tiongkok turut membantu petani saat pandemi dengan membeli produk petani. Kemudian, produk petani tersebut dikemas untuk diberikan kepada food bank setempat. "Jadi, ada upaya menciptakan pasar atau menyambungkan kepentingan petani," katanya.

Adapun pertanian merupakan salah satu sektor yang masih tumbuh positif pada kuartal II tahun ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian tumbuh sebesar 2,19%. Sementara itu, sektor informasi dan komunikasi mencetak pertumbuhan positif tertinggi sebesar 10,88%.

Reporter: Rizky Alika