Pemerintah telah menggelontorkan beragam bantuan sosial dengan anggaran mencapai ratusan triliun dalam program pemulihan ekonomi nasional. Namun, daya beli masyarakat tak kunjung meningkat tercermin dari deflasi yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut pada Juli-September 2020.
Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede mengakui daya beli masyarakat tidak bisa ditingkatkan hanya dengan bantuan sosial pemerintah. Bansos hanya mampu mempertahankan konsumsi barang esensial masyarakat. "Sehingga daya beli tidak akan naik," kata Raden dalam acara Diskusi Media terkait Daya Beli Masyarakat di tengah Pandemi Covid-19, Senin (5/10).
Faktor utama penyebab penurunan daya beli masyarakat, menurut dia, adalah penurunan pendapatan akibat pandemi. Saat pandemi, perusahaan cenderung menerapkan kebijakan pengurangan gaji atau pendapatan lain hingga pemutusan hubungan kerja akibat penurunan produksi dan pendapatan perusahaan. Selain itu, nilai tukar petani juga menurun sebagai imbas penurunan permintaan pada produk pangan.
Hasil survei BPS menunjukkan, masyarakat miskin, rentan miskin, dan yang bekerja di sektor informal merupakan yang paling terdampak dari pandemi Covid-19. Berdasarkan kelompok pendapatan, sebanyak 70,53% responden dalam kelompok berpendapatan rendah atau di bawah Rp 1,8 juta mengaku mengalami penurunan pendapatan.
Maka dari itu, Raden menilai, pemulihan daya beli lebih efektif dilakukan melalui ketersediaan lapangan kerja. Hal tersebut menjadi alasan prioritas program PEN pada tahun depan akan lebih diarahkan kepada program padat karya dan investasi pemerintah.
Dengan penciptaan lapangan kerja, akan ada pendapatan tambahan yang bisa membuat masyarakat membeli barang di luar kebutuhan esensial. "Namun tahun depan masih tetap akan ada bansos," ujarnya.
Pemerintah menganggarkan dana penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional mencapai Rp 695,2 triliun. Dari total anggaran tersebut, sebesar Rp 203 triliun dialokasikan untuk tambahan anggaran perlindungan sosial.
Program padat karya sebenarnya sudah digiatkan sejak tahun ini. Dalam PEN, pemerintah mengalokasikan Rp 18,44 triliun untuk program itu. Namun, menurut Raden, program tersebut belum dapat berjalan maksimal karena kasus kasus Covid-19 di Tanah Air masih tinggi.
Jumlah kasus Covid-19 hingga Senin (5/10) mencapai 307.120 kasus, bertambah 3.622 dibandingkan kemarin. Sebanyak 232.593 orang telah sembuh, sedangkan 11.253 orang meninggal dunia. Pemerintah terus mengingatkan masyarakat untuk disiplin menerapkan gerakan 3M, yakni menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Gerakan 3M menjadi cara paling efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19 sebelum vaksin tersedia.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu menjelaskan pemulihan ekonomi pada tahun depan akan ditopang oleh keteserdiaan vaksin. Untuk itu, sisi permintaan dan suplai harus dijaga melalui akselerasi reformasi ekonomi.
"Omnibus Law Cipta Kerja, reformasi anggaran dan Sovereign Wealth Fund akan terus didukung, Jangan sampai pada 2021, investasi belum tumbuh," ujar Febrio, pekan lalu.
Investasi diharapkan menjadi salah satu penyumbang utama pertumbuhan ekonomi pada tahun depan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2021 mencapai 5%, berbalik dari kondisi tahun ini yang diprediksi terkontraksi hingga 1,7%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengatakan iklim investasi Indonesia akan dibuat senyaman mungkin untuk menarik investor agar pemulihan ekonomi lebih cepat pada tahun depan. "Kami siapkan Omnibus Law Cipta Kerja supaya investor bisa lebih percaya diri," ujar Sri Mulyani pada bulan lalu.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku penanganan Covid-19 di Indonesia bukanlah hal mudah. Apalagi, Indonesia merupakan negara besar dengan banyak pulau. "Perlu banyak koordinasi antara kepala daerahnya," kata dia.
Omnibus law Cipta Kerja diharapkan membantu dunia usaha di tengah masa sulit Pandemi Covid-19. Adapun pemulihan ekonomi Indonesia akan sangat bergantung pada penanganan Covid-19. Semakin pertambahan kasus di Indonesia dapat ditahan, makin cepat pula perekonomian membaik.
Pemerintah akan terus meminimalkan dampak virus corona terhadap pertumbuhan ekonomi. Baik dari sisi permintaan maupun suplai. Maka dari itu, dukungan fiskal akan terus ditekankan pada tahun depan.
Kepala Ekonom David Sumual menjelaskan, pemerintah pada tahun depan memang harus mengubah strategi untuk mengungkit ekonomi. Bansos tak dapat diandalkan karena hanya mampu menjaga daya beli masyarakat menengah bawah.
Pemerintah antara lain perlu menggiatkan kembali proyek-proyek pembangunan, seperti infrastruktur, lumbung pangan, ICT, dan berbagai proyek lainnya," katanya.
Dalam APBN 2021, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kembali memperoleh anggaran terbesar mencapai Rp 149,81 triliun. Anggaran Kementerian PUPR sempat dipangkas mencapai Rp 44,58 triliun untuk dialihkan ke penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi menjadi Rp 75,42 triliun.
Anggaran Kementerian PUPR pada 2021 dialokasikan untuk pembangunan infrastrktur sumber daya air sebesar Rp 533,96 triliun, konektivitas sebesar Rp 53,96 triliun, pemukiman Rp 25,56 triliun, dan perumahan sebesar Rp 8.09 triliun.
Kemudian untuk pengembangan sumber daya manusia Rp 536,79 miliar, pembinaan konstruksi Rp 757,68 miliar, pembiayaan infrastruktur Rp 273,68 miliar, pengawasan Rp 101,74 miliar, dan perencanaan Rp 206,18 miliar.
Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto juga menilai bansos hanya bersifat bantuan untuk mengurangi kesulitan masyarakat kelompok menengah bawah. Sementara ekonomi akan sulit tumbuh jika masyarakat menengah atas yang menjadi penggerak utama konsumsi rumah tangga masih menahan konsumsi. Konsumsi rumah tangga sendiri merupakan kontributor utama perekonomian Indonesia.
"Penggerak ekonomi kita adalah sektor swasta khususnya konsumsi rumah tangga." ujar Eko.
Kasus baru Covid-19 yang masih tinggi dan ketidakpastian geopolitik masih akan menekan perekonomian di penghujung tahun. Namun, ia memperkirakan ekonomi Indonesia akan pulih dengan cepat jika kasus Covid-19 tertangani. "Kalau Covid-19 sudah tertangani, kita akan paling cepat tumbuh di ASEAN,"katanya,
Presiden Joko Widodo sebelumnya berharap bansos bisa meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan demikian berbagai program bansos diluncurkan pada saat pandemi berlangsung. Jokowi saat itu menyoroti deflasi bahan pangan yang terjadi pada April. Menurut Jokowi, kondisi tersebut mengindikasikan adanya penurunan permintaan bahan pangan di masyarakat.
"Artinya daya beli masyarakat menurun," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas melalui konferensi video pada Mei lalu.