Pemerintah memberikan sejumlah insentif perpajakan kepada pengusaha dalam Undang-undang Cipta Kerja guna mendorong investasi di dalam negeri. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan berbagai insentif tersebut pada akhirnya akan menaikan rasio pajak atau tax ratio.
Rasio pajak merupakan perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto. Jika penerimaan pajak bisa tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, maka rasio pajak akan meningkat.
Febrio menjelaskan, rasio pajak akan meningkat karena insentif diberikan bersamaan dengan reformasi di bidang lain yang juga diatur dalam UU Cipta Kerja. Salah satunya yakni menyederhanakan regulasi perpajakan untuk mendorong membuat kemudahan berusaha.
"Kalau implementasinya cepat, akan makin banyak aktitvtias ekonomi, lapangan kerja baru, sehingga penerimaan perpajakan akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi," kata Febrio dalam media briefing dengan topik UU Cipta Kerja terkait Bidang Perpajakan, Senin (10/12).
Meski demikian, Febrio mengatakan tax ratio tidak bisa meningkat secara instan dalam satu atau dua tahun. Reformasi dan kemudahan dalam regulasi perpajakan akan meningkatkan rasio pajak secara bertahap.
Febrio memperkirakan rasio pajak tahun ini hanya akan mencapai 8%, turun dibandingkan tahun lalu yang mencapai 10,7% terhadap PDB. Sementara pada APBN 2021, rasio pajak diperkirakan hanya mencapai 8,18% terhadap PDB.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menuturkan bahwa dampak pemberian insentif pajak dalam UU Nomor 2 tahun 2020 maupun UU Cipta Kerja sudah dihitung dalam RAPBN 2021. "Itu sudah dihitung termasuk basis pada 2020," kata Suryo dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain, Suryo mengatakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan regulasi untuk melengkapi revisi aturan perpajakan dalam UU Cipta Kerja. Hal tersebut juga untuk menghindari berbagai moral hazzard yang berpotensi timbul akibat berbagai insentif pajak.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar memperkirakan adanya potensi kenaikan penerimaan dalam jangka panjang dengan adanya Omnimbus Law Cipta Kerja. "Jika benar mendorong investasi, maka akan mendorong sumber penerimaan pajak dari pos-pos lainnya," ujar Fajry kepada Katadata.co.id, Senin (12/10).
Pajak dalam hal ini dilihat sebagai alat fiskal, bukan tujuan. Maka dari itu, penerimaan pajak terpaksa dikorbankan untuk menciptakan lapangan kerja. Jika ekonomi terdongkrak, maka penerimaan pajak akan ikut tumbuh.
Kendati demikian, Fajry tak menampik akan adanya potensi penggerusan penerimaan negara dengan adanya UU Cipta Kerja. "Ini dalam konteks jangka pendek," kata dia.
Pengamat Pajak Institute For Development of Economics and Finance Nailul Huda menyebut belanja perpajakan pemerintah pada tahun 2019 mencapai Rp 250 triliun. "Dengan adanya UU Cipta Kerja ini akan terus meningkat hingga Rp 260 triliun," ujar Nailul kepada Katadata.co.id.
Omnimbus Law Cipta Kerja akan menggerus penerimaan perpajakan pada tahun ini dan tahun depan. Adapun berbagai keringanan pajak yang digelontorkan lewat UU Nomor 2 tahun 2020 juga belum memberi hasil yang sesuai.
Kemenkeu mencatat pendapatan negara tercatat turun 13,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 1.034,1 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari penerimaan perpajakan yang turun 13,4% menjadi Rp 1.404,5 triliun, penerimaan negara bukan pajak yang turun 13,5% menjadi Rp 294,1 triliun, dan penerimaan hibah yang naik 651,6% menjadi Rp 1,3 triliun.
Dalam UU Cipta Kerja, terdapat 26 pasal dalam empat UU terkait perpajakan yang direvisi melalui satu bab dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Keempat UU yang direvisi yakni aturan terkait Pajak Penghasilan, Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Pajak dan Retribusi Daerah.