Kenaikan Inflasi Tak Berarti Daya Beli Mulai Pulih

123RF.com/Poemsuk Kinchokawat
Ilustrasi. Inflasi pada November didorong oleh kenaikan harga pangan.
Penulis: Agustiyanti
1/12/2020, 17.58 WIB

Setelah deflasi selama tiga bulan berturut-turut pada kuartal ketiga, indeks harga konsumen kembali mencatatkan inflasi pada Oktober dan berlanjut pada November 2020. Namun, inflasi yang  meningkat pada bulan lalu tak berarti daya beli mulai pulih.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, inflasi pada November tercatat sebesar 0,28% secara bulanan, naik dibandingkan bulan sebelumnya 0,07%. Inflasi tahun kalender atau sepanjang Januari-November mencapai 1,23%, sedangkan inflasi secara tahunan tercatat 1,59%.

"Setelah kita mengalami deflasi pada Juni hingga September, di Oktober kita mengalami inflasi 0,07% dan berlanjut pada November," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam konferensi pers Perkembangan Inflasi November, Selasa (1/12).

Inflasi pada bulan lalu terutama disumbang oleh kenaikan harga bahan pangan dengan andil mencapai 0,22%. Kenaikan harga, antara lain terjadi pada daging ayam, telur ayam ras, dan cabai. Namun, kenaikan harga lebih didominasi oleh gangguan pasokan akibat faktor cuaca.

"Memang perlu diwaspadai terkait mulainya musim penghujan dan libur panjang. Ombak dan curah hujan tinggi dapat menghambat distribusi barang dari produsen ke konsumen," katanya.

Permintaan yang masih lesu tergambar dari data inflasi inti yang  rendah. BPS mencatat inflasi inti pada November hanya mencapai 0,06% secara bulanan atau 1,67% secara tahunan. Inflasi inti secara tahunan terus melambat dibandingkan Oktober sebesar 1,74% dan September 1,86%.

"Inflasi inti secara tahunan sebesar 1,67% ini marupakan yang  terendah sejak kami dan BI menghitungnya mulai 2004," katanya.

Inflasi inti kerap menjadi indikator untuk menggambarkan kondisi perekonomian, terutama daya beli. Inflasi Inti terdiri dari komponen harga barang/jasa yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakannya.

Komponen tersebut dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, lalu lingkungan eksternal seperti nilai tukar, harga komoditi internasional, dan inflasi mitra dagang. Selain itu ada pengaruh dari ekspektasi pedagang dan konsumen.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, inflasi inti yang masih melambat pada Desember meski inflasi secara umum meningkat menunjukkan permintaan domestik yang masih lemah. Kenaikan inflasi pada komponen harga bergejolak yang terjadi pada November juga lebih dipengaruhi oleh gangguan pada sisi suplai komoditas pangan.

Kenaikan harga daging ayam menjadi salah satu penyumbang utama inflasi pada November. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.)

Kenaikan harga pangan, menurut Josua, disebabkan oleh implementasi kebijakan Kementan yang mewajibkan perusahaan pembibitan melakukan pengurangan produksi bibit ayam broiler. Hal ini berpengaruh pada harga ayam yang menjadi salah satu penyumbang inflasi. Faktor lainnya adalah meningkatnya curah hujan di berbagai daerah di Indonesia berdampak pada gangguan distribusi beberapa komoditas pangan.

"Jadi, mengingat inflasi umum dipengaruhi oleh gangguan sisi suplai, maka belum ada indikasi kuat bahwa permintaan domestik cenderung meningkat," ujar Josua kepada Katadata.co.id, Selasa (1/12).

Inflasi Terendah dalam Dua Dekade

Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan, pandemi Covid-19 berdampak paling besar pada sisi permintaan karena pembatasan aktivitas sosial. Banyak negara, termasuk Indonesia masih harus bergulat untuk mendorong kegiatan sosial ekonomi tanpa memperburuk kenaikan

"Kalau kami lihat kegiatan konsumsi, terutama kelompok menengah atas masih menahan diri. Kami berharap dengan adanya vaksinasi dan protokol kesehatan, konsumsi masyarakat menengah atas dapat kembali meningkat pada tahun depan," katanya.

Sri Mulyani memperkirakan inflasi pada sepanjang tahun ini hanya akan mencapai 1,5%. Inflasi ini, menurut dia, terendag dalam enam tahun terakhir.

Namun berdasarkan databoks di bawah ini, proyeksi inflasi tersebut akan menjadi capaian terendak sedikitnya dalam dua puluh tahun terakhir.

Sri Mulyani menjelaskan, terdapat risiko kenaikan harga komoditas pangan yang bergejolak pada akhir 2020 dan awal 2021 seiring periode musim tanam, masuknya musim penghujan, dan dampak La Nina. Selain itu, ada potensi peningkatan permintaan pangan dan transportasi menjelang Natal dan Tahun Baru.

Namun, kenaikan harga pangan diperkirakan masih akan terbatas seiring masih lemahnya permintaan rumah tangga dan serapan industri serta upaya pemerintah mejaga stabilitas harga.

"Inflasi yang rendah memberikan dampak positif pada biaya dana yang rendah. Namun, kita harus berhati-hati dengan tingkat permintaan yang masih rendah, ini harus diperkuat," katanya.

Josua memperkirakan inflasi pada akhir tahun akan kembali meningkat sejalan dengan momentum Natal dan Tahun Baru serta cuti bersama Idul Fitri pada akhir tahun ini. Namun, konsumen kemungkinan masih akan membatasi belanja seiring dengan jumlah kasus COVID-19 harian yang belakangan cenderung meningkat cukup signfikan, terutama di DKI Jakarta.

"Inflasi akhir 2020 diperkirakan akan berada pada rentang 1,55% hingga 1,65%," katanya.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menilai inflasi yang rendah di satu sisi dapat membantu menjaga daya beli masyarakat. Namun di sisi lain, inflasi yang rendah menunjukkan permintaan yang menurun akibat pandemi.

"Inflasi pada Desember kemungkinan berada di kisaran 0,3%. Hingga akhir tahun, inflasi akan dibawah target BI," katanya.

Bank Indonesia sebelumnya menargetkan inflasi pada tahun ini akan berada pada rentang 2% hingga 4,5%. Namun, Gubernur BI Perry Warjiyo pada bulan lalu memproyeksi inflasi hingga akhir tahun akan berada di bawah 2%.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga memperkirakan inflasi pada sepanjang tahun ini hanya akan mencapai 1,5% meski ada potensi kenaikan harga pangan di akhir tahun. Harga pangan masih akan stabil, sedangkan inflasi harga yang diatur pemerintah dan inflasi inti tetap rendah seiring dengan permintaan yang masih lesu dan pembatasan sosial.

"Dengan inflasi yang rendah, BI akan menjaga kebijakan moneter tetap akomodatif. Kami memperkirakan BI menahan suku bunga acuan pada Desember 2020 dan 2021 sebesar 3,75%," kata Andry.

Bank Mandiri memproyeksi inflasi pada tahun depan akan meningkat menjadi 2,29% seiring dengan perbaikan ekonomi. Ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga ke depan akan terbatas.