- Kenaikan cukai rokok 12,5% pada tahun depan akan membantu penerimaan negara.
- Inflasi berpotensi meningkat akibat kenaikan cukai rokok.
- Dampak kenaikan cukai rokok terhadap kemiskinan sangat terbatas.
Asap mengebul dari mulut Sunardi, 53 tahun, saat tengah memarkirkan mobil di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Penghasilan yang berkurang akibat Pandemi Covid-19 dan harga rokok yang makin mahal seiring kenaikan cukai tak membuatnya menghentikan kebiasaan merokok yang sudah dilakoni selama berpuluh-puluh tahun.
"Susah untuk berhenti, paling ya dikurangi sedikit-sedikit," ujar Sunardi kepada Katadata.co.id.
Sunardi hanya satu dari puluhan juta perokok di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional pada 2018, sebanyak 33,8% dari total penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun merokok. Jumlahnya mencapai sekitar 67 juta jika mengggunakan proyeksi jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk Antar Sensus (Supas 2015).
Data terbaru BPS terkait kemiskinan juga menunjukkan rokok kretek filter menjadi kontributor terbesar kedua setelah beras pada garis kemiskinan. Kontribusi rokok mencapai 12,6% di perkotaan dan 10,98% di pedesaan.
Garis kemiskinan merupakan pengeluaran minimum kebutuhan makanan dan nonmakanan yang harus dipenuhi agar tidak dikategorikan miskin. Pada Maret 2020, garis kemiskinan per kepita tercatat sebesar Rp 454 ribu, naik 3,2% dibandingkan September 2019. Sementara garis kemiskinan rumah tangga miskin naik dari Rp 2,02 juta menjadi Rp 2,12 juta.
Meski demikian, catatan BPS menunjukkan kenaikan harga rokok tak menjadi faktor utama yang mempengaruhi kenaikn kemiskinan pada Maret 2020. Kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 1,63 juta dibandingkan September 2019, terutama disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, naik 6,57% dari 24,79 juta pada September 2019. Persentase penduduk miskin tercatat 9,78% dari total penduduk Indonesia.
Pada tahun ini, rata-rata tarif cukai rokok naik mencapai 23%, tertinggi sepanjang sejarah. Rata-rata harga jual eceran rokok pun seharusnya naik sebesar 35%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani kemarin telah menetapkan tarif cukai rokok naik sebesar 12,5% pada tahun depan. Dengan kenaikan cukai tersebut, rata-rata harga jual eceran rokok naik 13,8% hingga 18,4%.
Adapun kenaikan tarif cukai rokok dikecualikan pada rokok jenis Sigaret Kretek Tangan. Kebijakan ini, menurut Sri Mulyani, mempertimbangkan kondisi sektor padat karya saat ini.
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menyatakan, kenaikan cukai tahun depan akan berdampak kepada inflasi sehingga mengurangi daya beli barang nonrokok. Alasannya, ketika harga rokok naik, masyarakat kelas bawah cenderung tidak mengurangi konsumsi rokok.
"Jadi kualitas konsumsi masyarakat khususnya kelompok bawah akan menurun," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Jumat (11/12).
Kendati demikian, kebijakan itu tidak akan mempengaruhi angka kemiskinan di Indonesia secara keseluruhan. Ini karena kenaikan cukai rokok tidak mengurangi pendapatan masyarakat.
Di sisi lain, Piter mengatakan kebijakan kenaikan cukai rokok memang akan meningkatkan penerimaan negara tetapi tidak akan signifikan.
Porsi penerimaan cukai terhadap keseluruhan penerimaan negara tidak besar. Tahun depan, porsi penerimaan cukai hanya 10,32% terhadap pendapatan negara yang dipatok Rp 1.743,6 triliun.
Meski demikian, penerimaan cukai bisa membantu pendapatan negara di masa sulit ini. "Karena penerimaan pajak masih belum bisa diharapkan kembali normal pada tahun depan," katanya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kenaikan cukai rokok berpotensi meningkatkan inflasi seiring kontribusi komodits ini yang relatif setara dengan bahan makanan lainnya. Namun, kenaikan ini tidak akan menyebabkan inflasi pada tahun depan melampaui target BI sebesar 2% hingga 4%.
Dampak ke kemiskinan juga cenderung terbatas. Masyarakat kemungkinan akan mengalihkan alokasi pendapatannya ke produk lain atau malah mengalihkan pengeluarannya. "Kemiskinan dihitung dari pengeluaran masyarakat dan ini tak akan banyak berkurang karena kenaikan cukai rokok," katanya.
Di sisi lain, penerimaan cukai saat ini menjadi salah satu harapan pemerintah. Pasalnya, cukai merupakan salah satu penerimaan negara yang masih mampu tumbuh positif selama pandemi. Ini tak lepas dari permintaan masyarakat yang cederung inealastis pada kenaikan cukai tembakau.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Syarif Hidayat mengatakan kenaikan cukai rokok 12,5% akan menambah penerimaan negara. Target penerimaan cukai hasil tembakau pada APBN 2021 mencapai Rp 173,78 triliun, naik 5,4% dibandingkan tahun ini.
Target ini sudah memperhitungkan kenaikan cukai sebesar 12,5%.
"Porsi target cukai hasil tembakau terhadap total target penerimaan cukai sebesar 96,5%," kata Syarif kepada Katadata.co.id, Kamis (10/12).
Secara total, target penerimaan cukai pada 2021 yaitu Rp 180 triliun. Selain cukai hasil tembakau, target tersebut terdiri dari cukai etil alkohol Rp 160 miliar atau 0,1% dari target penerimaan cukai, dan minuman mengandung etil alkohol Rp 5,56 triliun atau 3,1%.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek Azami Mohammad menyampaikan keputusan pemerintah menaikan tarif cukai rata-rata sebesar 12,5% sama dengan mematikan industri hasil tembakau. Saat ini, industri sedang mengalami goncangan yang luar biasa, dimulai dari kenaikan cukai yang eksesif pada 2020 sebesar 23% ditambah hantaman krisis akibat pandemi Covid-19.
Menurut ia, terdapat tiga dampak dari kenaikan cukai rokok. Pertama, akan banyak pabrik gulung tikar. Sebab, bukan hanya tarif cukai golongan I saja yang naik tinggi, tapi juga tarif cukai di golongan IIA dan IIB.
Padahal, cukai golongan IIA dan IIB diisi oleh pabrikan kecil menengah. Sementara cukai golongan I harganya sudah terlampau tinggi, tidak sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat. Maka otomatis produksi dan omzet pabrikan akan turun drastis.
"Tinggal tunggu saatnya pabrik gulung tikar," kata Azami dalam keterangan resminya, Jakarta, Jumat (11/12).
Kedua, sektor pertanian tembakau dan cengkeh akan mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini karena komponen produksi yang biasanya dipangkas oleh pabrikan adalah bahan baku baik secara kualitas maupun kuantitas.
Ia pun memperkirakan hasil pertanian tembakau dan cengkeh akan berkurang kualitas maupun kuantitasnya. Petani akan rugi besar, begitupun perekonomian di wilayah-wilayah sentra tembakau dan cengkeh.
Ketiga, kenaikan cukai rokok akan menyebabkan maraknya peredaran rokok ilegal. Rokok ilegal akan tumbuh subur ketika harga rokok legal sudah tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Saat ini saja, rokok ilegal sudah menjamur bukan hanya di daerah pinggiran tapi juga perkotaan. "Negara akan kehilangan pendapatan dari sektor cukai, sementara masyarakat menghadapi ancaman bahaya mengonsumsi rokok ilegal karena rokok ilegal tidak memiliki standarisasi kelayakan konsumsi," ujar dia.
Sebelumnya, Sri Mulyani sempat menyebutkan bahwa semakin mahal harga rokok semakin banyak pula peredaran rokok ilegal. "Saya sudah instruksikan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk menangani peredaran produksi dan peredaran rokok ilegal ini," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Kebijakan Cukai Rokok secara virtual, Kamis (10/12).
Tren penindakan terhadap rokok ilegal meningkat sejak tahun 2017 hingga 2020. Untuk tahun ini saja, jumlah penindakan rokok ilegal tercatat 8.155 kali terhadap 384,51 juta batang dengan perkiraan nilai Barang Hasil Penindakan Rp 339,18 miliar. Jumlah penindakan tersebut meningkat 41,23% dibanding pada 2019 yang sebanyak 5.774 kali dengan hit rate 25 tangkapan per hari.