Berkah Kenaikan Ekspor di Tengah Pandemi Covid-19 yang Belum Berakhir

123RF.com/Cheangchai Noojuntuk
Ilustrasi. Ekspor Indonesia periode Januari–November 2020 mencapai US$ 146,78 miliar atau turun 4,22% dibanding periode yang sama tahun 2019 yaitu US$ 153,25 miliar.
15/12/2020, 14.16 WIB
  • Ekspor Indonesia pada November 2020 telah kembali ke level sebelum Pandemi Covid-19
  • Kinerja ekspor terbantu oleh kenaikan harga komoditas
  • Neraca perdagangan bulan lalu surplus US$ 2,61 miliar

Kinerja ekspor Indonesia melempem sejak perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok meletup pada 2018. Pandemi Covid-19 yang merebak pun sempat memperparah keadaan. Namun meski pandemi belum berakhir, kinerja ekspor mulai menemukan momentum pada bulan lalu. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor pada November mencapai US$ 15,28 miliar, tertinggi sejak Oktober 2018. Realisasi ekspor tersebut tumbuh 6,36% dibandingkan bulan sebelumnya dan 9,54% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. 

"Kinerja ekspor menggembirakan. Selain tertinggi selama tahun 2020, nilai ekspor juga tertinggi sejak Oktober 2018 yang pada saat itu sebesar US$ 15,91 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam Konferensi Pers Ekspor Impor November 2020 secara virtual, Selasa (14/12).

Peningkatan ekspor secara bulanan dipicu oleh ekspor nonmigas yang naik 5,56% dari US$ 13,75 miliar menjadi US$ 14,51 miliar. Ekspor migas bahkan melesar 24,26% dari US$ 613,4 juta menjadi US$ 762,2 juta.

Peningkatan ekspor migas disebabkan oleh meningkatnya ekspor minyak mentah 147,16% menjadi US$ 239,6 juta dan ekspor gas 12,97% menjadi US$ 455juta. Sementara itu ekspor hasil minyak turun 40,57% menjadi US$ 67,6 juta.

Secara kumulatif, ekspor Indonesia periode Januari–November 2020 mencapai US$ 146,78 miliar atau turun 4,22% dibanding periode yang sama tahun 2019 yaitu US$ 153,25 miliar. Ekspor kumulatif nonmigas mencapai US$ 139,49 miliar, menurun 2,18% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. 

Dari sisi volume, ekspor Indonesia meningkat 12,94% menjadi 53,33 juta ton dibanding Oktober 2020 47,22 juta ton yang disebabkan peningkatan volume ekspor nonmigas 12,28% dan migas 27,46%. Dibandingkan dengan November 2019, volume total ekspor menurun 4,81% dari 56,01 juta ton dengan nonmigas turun 5,5%, sedangkan migas naik 10,82%. Secara kumulatif, volume ekspor tercatat 523,19 juta ton, menurun 12,62% dibanding periode Januari– November 2019 yaitu 598,75 juta ton yang disumbang oleh penurunan volume ekspor nonmigas 13,26% sedangkan migas naik 2,88%.

Rata-rata harga agregat barang ekspor Indonesia secara total menurun 5,83% secara bulanan namun naik 15,08% secara tahunan. Rata-rata harga ekspor nonmigas turun 5,98% secara tahunan. Demikian juga rata-rata harga ekspor migas menurun 2,52% dengan rata-rata harga ekspor hasil minyak turun 2,49% dan gas turun 5,06%, sedangkan minyak mentah naik 5,65%.

Suhariyanto menyebutkan bahwa peningkatan terbesar nilai ekspor nonmigas secara bulanan terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati yang naik US$ 449,4 juta atau 23,62% dari US$ 1,9 miliar menjadi US$ 2,35 miliar. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada logam mulia, perhiasan permata yang naik US$ 254,7 juta atau 43,37% dari US$ 587,3 juta menjadi US$ 332,6 juta. 

Berdasarkan penggunaanya, ekspor produk industri pengolahan meningkat 2,95% secara bulanan dari US$ 11,77 miliar menjadi US$ 12,12 miliar yang disumbang oleh peningkatan ekspor minyak kelapa sawit. Demikian juga jika dibandingkan secara tahunan naik 14,47% dari US$10,58 miliar.

Ekspor produk pertanian turut meningkat 6,33% secara bulanan US$ 420,1 juta menjadi US$ 446,7 juta disumbang oleh peningkatan ekspor hasil hutan bukan kayu lainnya, tanaman obat aromatik dan rempah-rempah, buah-buahan tahunan, cengkeh, dan sarang burung. Ekspor pertanian secara tahunan juga naik 33,33% dari US$ 335,1 juta.

Kemudian, ekspor produk pertambangan dan lainnya meningkat 25,08% secara bulanan dari US$ 1,56 miliar menjadi US$ 1,95 miliar yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor batubara. Namun, seacar tahunan ekspor produk tersebut turun 2,05% dari US$ 1,99 miliar.

Selama Januari–November 2020, ekspor nonmigas Indonesia menurut sektor industri pengolahan meningkat 1,46% menjadi 118,24 miliar dibanding 2019 US$ 116,53 miliar yang disumbang oleh meningkatnya ekspor besi/baja. Demikian juga ekspor produk pertanian meningkat 13,64% dari 3,24 miliar menjadi US$ 3,69 miliar yang disebabkan oleh meningkatnya ekspor sarang burung. Sedangkan ekspor produk pertambangan dan lainnya menurun 22,99% dari US$ 22,82 miliar menjadi  US$ 17,57 miliar yang disumbang oleh menurunnya ekspor batubara.

Tiga provinsi yang memberikan sumbangan terbesar terhadap ekspor nasional pada periode Januari–November tahun 2020 adalah Jawa Barat US$ 23,92 miliar (16,3%), Jawa Timur US$ 18,52 miliar (12,62%), dan Riau US$ 12,28 miliar (8,37%). Ketiganya memberikan kontribusi hingga mencapai 37,29% dari seluruh ekspor nasional.

Terbantu Harga Komoditas

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam mengatakan ekspor RI November 2020 yang sangat tinggi terutama terjadi karena kenaikan harga komoditas. "Ekspor pada tahun 2018 dan 2019 memang sempat terpuruk karena penurunan harga komoditas utamanya batu bara dan minyak sawit mentah," kata Piter kepada Katadata.co.id, Selasa (15/12).

Berdasarkan catatan BPS, sejumlah harga komoditas mencatatkan kenaikan yang cukup tajam pada pada November 2020 dibanding Oktober 2020. Harga minyak kelapa sawit naik 12,03% secara bulanan dan 33,9% secara tahunan, harga batu bara naik 7,57% secara bulanan  meski turun 6,2% secara tahunan, sedangkan minyak mentah naik 6,83% secara bulanan.

Di sisi lain permintaan komoditas membaik terutama dari negara-negara utama tujuan ekspor RI. Ini karena mulai pulihnya ekonomi Tiongkok dan beberapa negara Eropa dari pandemi Covid-19. 

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai tren pemulihan kinerja ekspor Indonesia mulai terindikasi sejak awal kuartal III tahun ini didukung oleh peningkatan harga komoditas ekspor, seperti minyak sawit atau CPO dan batubara secara gradual. Pemulihan harga komoditas ekspor Indonesia ditopang oleh perbaikan permintaan dari negara mitra dagang utama Indonesia terutama Tiongkok dan India.

Sejak bulan Juni hingga bulan November, rata-rata pertumbuhan bulanan ekspor Indonesia mencapai 4,5%, meskipun total ekspor secara kumulatif pada periode Jan-Nov 2020 masih mencatatkan pertumbuhan negatif.

"Ke depannya, kinerja ekspor berpotensi akan berlanjut meningkat seiring dengan perbaikan volume permintaan dari negara mitra dagang Indonesia," katanya.

Ekonomi Tiongkok pada kuartal ketiga tahun ini berhasil tumbuh 4,9% melanjutkan pertumbuhan kuartal sebelumnya setelah kontraksi dalam pada tiga bulan pertama tahun ini, terlihat pada data di bawah ini.

Peningkatan ekspor nonmigas secara bulanan terjadi ke sebagian besar negara tujuan utama, yaitu Tiongkok US$ 461,8 juta (16,17%), Malaysia US$ 158,1 juta (24,5%), Jepang US$ 124,2 juta (11,67%), dan India US$ 87,9 juta (10,04%). Kemudian, Jerman US$ 70,9 juta (35,38%), Thailand US$ 35,7 juta (8,79%), Korea Selatan US$ 32,9 juta (7,12%), Australia US$ 32,7 juta (16,56%), dan Belanda US$ 17,5 juta (7,52%). Sedangkan negara yang mengalami penurunan adalah Singapura US$ 33,3 juta (5,34%), Amerika Serikat US$ 30,8 juta (1,88%), Taiwan US$ 12,7 juta (3,84%), serta Italia US$ 4,8 juta (3,10%).

Tiongkok tetap merupakan negara tujuan ekspor terbesar pada sepanjang Januari-November 2020 dengan nilai US$ 26,61 miliar (19,08%), diikuti AS dengan nilai US$ 16,75 miliar (12,01%), dan Jepang dengan nilai US$ 11,63 miliar (8,34%). Komoditas utama yang diekspor ke Tiongkok pada periode tersebut adalah besi/baja, minyak kelapa sawit, dan batubara.

Meski secara nilai meningkat, menurut Kepala Ekonom BCA David Sumual, kinerja volume ekspor sebenarnya belum meningkat signifikan. Ke depan, ekspor masih akan memperoleh tantangan dari karantina wilayah yang mulai kembali diberlakukan di sejumlah negara, seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. 

"Ekspor hingga awal tahun depan kemungkinan masih akan lemah dari sisi volume, tetapi harga komoditas kemungkinan masih akan tinggi karena pemulihan di Tiongkok dan India," ujar David kepada Katadata.co.id. Selasa (15/12). 

Ia memperkirakan volume ekspor baru akan meningkat pada kuartal kedua tahun depan. Demikian pula dengan kinerja impor. "Impor hingga kuartal pertama tahun depan masih akan kontraksi karena hingga Februari tahun lalu impor cukup tinggi," katanya. 

David memperkirakan surplus neraca perdagangan pun akan berlanjut pada tahun depan, tetapi tak akan sebesar pada tahun ini seiring impor yang akan mulai pulih. 

Selain kinerja ekspor, impor pada bulan lalu juga berhasil melesat 17% secara bulanan meski masih anjlok 17,46% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan impor pada November didorong oleh impor nonmigas yang mencapai US$ 9,71 miliar, melesat 19,27% dibandingkan bulan lalu meski masih turun 12,33% dibandingkan November 2019.  Adapun impor migas hanya naik 0,59% dibandingkan Oktober atau turun 49,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 12,66 miliar. 

Kenaikan impor nonmigas didorong oleh impor barang modal yang mencapai US$ 2,43 miliar, tumbuh 31% dibandingkan bulan sebelumnya tetapi masih turun 2,85% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Impor barang konsumsi US$ 1,35 miliar, naik 25,52% secara bulanan tetapi masih anjlok 22,02% dibandingkan November 2019. Sementara impor bahan baku/penolong bertambah 13,02% dibandingkan bulan sebelumnya tetapi turun 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. 

Seiring dengan kinerja ekspor dan impor, neraca perdagangan pada November mencatatkan surplus US$ 2,61 miliar. Adapun sepanjang Januari-November 2020, surplus neraca perdagangan telah mencapai US$ 19,66 miliar.

Reporter: Agatha Olivia Victoria