Sri Mulyani: Indonesia Dianggap Negara dengan Risiko Tinggi Korupsi

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia masih dianggap berisiko tinggi terhadap korupsi.
23/12/2020, 13.33 WIB

Dua menteri Kabinet Indonesia Maju yang terjaring oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus bansos dan benih lobster menunjukkan masalah korupsi yang masih membelit negara ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia masih dianggap sebagai negara yang berisiko tinggi dari korupsi.

"Saya yakin dengan reputasi tersebut organisasi Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia merasa belum puas," kata Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Nasional AAPI secara virtual, Rabu (23/12).

Bendahara Negara ini menyebutkan bahwa membutuhkan waktu lama untuk menunjukan kredibilitas suatu negara. Namun, kredibilitas itu bisa hancur seketika saat ada pelanggaran terhadap tata kelola.

Maka dari itu, risiko imni perlu dikelola. Dalam suasana normal saja, Indonesia harus terus membangun tata kelola yang baik namun tetap tidak berada pada peringkat yang paling atas dalam pengelolaan risiko. Apalagi, dalam situasi pandemi yang menyebabkan pengeluaran negara melonjak sangat tinggi.

Sri Mulyani menilai pandemi berhasil menjadi game changer, merubah seluruh masyarakat, cara bekerja, hingga perekonomian. "Karena virus corona betul-betul mengancam jiwa manusia," ujarnya.

Covid-19 menyebabkan belanja pemerintah naik sementara pendapatan berkurang. Dengan demikian, diperlukan pengawasan yang sangat ketat terhadap seluruh keuangan negara tersebut.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020, belanja negara ditargetkan Rp 2.739 triliun, naik dari Undang-undang APBN awal Rp 2.540,4 triliun. Angka itu juga meningkat dari target APBN tahun lalu yang hanya Rp 2.461 triliun.

Sedangkan pendapatan negara dipatok Rp 1.699,9 triliun, turun dari postur awal Rp 2.233,2 triliun. Target itu juga anjlok dari tahun lalu yang sebesar Rp 2.165,1 triliun.

Belum lagi, sambung Sri Mulyani, virus corona membuat seluruh pemerintahan harus bertindak cepat dan tepat. Maka dari itu, tanggung jawab dalam meningkatkan reputasi tata kelola Indonesia di tengah pandemi sangatlah rumit.

Direktur Program Institute of Development for Economics and Finance Esther Sri Astuti menuturkan bahwa anggapan Indonesia sebagai negara berisiko tinggi korupsi bisa mempengaruhi perekonomian RI. "Dampaknya pada keengganan investor asing masuk ke Tanah Air," ujar Esther kepada Katadata.co.id, Rabu (23/12).

Survei World Economic Forum 2017 melaporkan, korupsi menjadi masalah utama yang menyebabkan rendahnya minat berbisnis di Indonesia. Faktor korupsi menyumbang 11,8%.  Faktor lainnya yang menghambat yaitu tidak efisiennya birokrasi pemerintah 9,3%, infrastruktur yang tidak memadai 9%, akses pembiayaan 8,6%, dan inflasi 7,6%. Kemudian, tidak stabilnya kebijakan 6,5%, etika pekerja yang buruk 6,3%, besaran pajak 6,1%, dan tidak memadainya lingkungan kerja yang teredukasi 5,6%.

Selain itu, kebijakan pajak 4,8%, regulasi mata uang asing 4,6%, ketidakstabilan pemerintahan 4,1%, kesehatan publik yang buruk 4%. Lalu, kriminal 4%, kurangnya inovasi 3,7%, dan regulasi pekerja yang terlalu dibatasi 3,7%.

Sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia merilis hasil survei nasional tentang tren persepsi publik tentang korupsi. Dari hasil penjaringan opini, persepsi masyarakat atas kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam penanganan korupsi tak mengalami perubahan dan cenderung bertambah buruk.

Survei dilakukan pada 2.000 responden dengan metode random simple sampling sepanjang 29 November sampai 3 Desember. Adapun tingkat toleransi kesalahan (margin of error) survei ini sebesar 2,2%. Dari hasil survei, hanya 28% responden menyatakan pencegahan korupsi selama setahun terakhir lebih baik.

Reporter: Agatha Olivia Victoria