Nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,1% ke level Rp 14.050 per dolar AS pada pasar spot pagi ini, Rabu (27/1). Rupiah menguat tipis di tengah penantian rapat Bank Sentral AS, The Fed.
Mengutip Bloomberg, rupiah mulai bergerak melemah dari posisi pembukaan ke Rp 14.066 per dolar AS hingga pukul 10.00 WIB. Mayoritas mata uang Asia turut menguat terhadap dolar AS. Dolar Hong Kong naik 0,01%, dolar Taiwan 0,08%, won Korea Selatan 0,15%, peso Filipina 0,02%, rupee India 0,03%, yuan tiongkok 0,04%, dan ringgit Malaysia 0,08%. Sementara yen Jepang meelmah 0,08%, dolar Singapura 0,05%, dan baht Thailand 0,12%.
Kepala Riset dan Edukasi Monnex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan dolar AS terlihat melemah terhadap nilai tukar lainnya pada pagi hari ini. "Pelemahan terjadi menjelang pengumuman hasil rapat moneter The Fed," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Rabu (27/1).
Pasar tengah mengantisipasi pernyataan The Fed yang kemungkinan mendukung kebijakan suku bunga rendah dalam jangka waktu yang lebih lama untuk membantu pemulihan ekonomi AS. Hal ini berpotensi menekan mata uang Negeri Paman Sam dan mengangkat rupiah.
Di sisi lain, Ariston mengingatkan bahwa kekhawatiran peningkatan kasus Covid-19 bisa membatasi penguatan. "Potensi pergerakan rupiah hari ini ada di rentang Rp 14.000-14.100 per dolar AS," ujar dia.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji menilai pasar saat ini juga menanti pengumuman rilis pertumbuhan ekonomi AS. "Namun secara teknikal, terlihat pola upward bar yang mengindikasikan adanya potensi depresiasi rupiah," kata Nafan kepada Katadata.co.id.
Dinamika perkembangan Covid-19 juga masih menarik perhatian pasar. Kebijakan pemerintah memperpanjang masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat serta kenaikan kasus Covid-19 di dalam negeri memberikan sentimen negatif bagi rupiah. Kurs Garuda pun berpotensi berada di antara Rp 14.020-14.120 per dolar AS.
Kasus positif Covid-19 Indonesia telah menembus angka satu juta orang pada Selasa (26/1). RI pun kini mengekor 18 negara lain dengan jumlah penderita SARS-CoV-2 di atas satu juta orang. Tak hanya itu, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia telah mencapai 28.468 orang atau posisi 17 dunia.
Epidemiolog melihat lonjakan kasus ini sebagai momentum pemerintah mengevaluasi PPKM Jawa Bali. Alasannya, PPKM terbukti belum berhasil menurunkan kasus Covid-19 di daerah-daerah tersebut .
PPKM Jawa Bali telah dimulai tanggal 11 Januari lalu dan diperpanjang sampai 8 Februari. “Sangat perlu evaluasi karena tidak relevan untuk (Pulau) Jawa,” kata epidemiolog dari griffith University Dr Dicky Budiman kepada Katadata.co.id, Selasa (26/1).
Dicky menyarankan untuk Pulau Jawa, pemerintah perlu kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai aturan yang dibuat. Payung hukum pembatasan ini ada di dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2020.
Dalam Permenkes Nomor 9, seluruh kantor sektor non-esensial wajib mempekerjakan semua karyawannya dari rumah. Adapun saat ini pemerintah hanya membatasi 75%.
Tak hanya itu, kegiatan keagamaan juga dilakukan di rumah atau berbeda dari saat ini yakni kapasitas tempat peribadatan dibatasi 50%. Dia mengatakan model PPKM ini sebenarnya cocok untuk dilayah di luar Jawa Bali yang tak terdampak parah “Jadi bukan PSBB yang dimodifikasi,” kata Dicky.