- Sektor properti menjadi andalan pemerintah untuk mengungkit ekonomi.
- Insentif diberikan dalam bentuk pembebasan PPN penjualan rumah hingga kelonggaran uang muka KPR.
- Pemberian berbagai insentif di sektor properti dinilai kurang tepat saat ini.
Sektor properti menjadi andalan pemerintah untuk menggenjot pemulihan ekonomi karena dianggap mampu memberikan efek berganda. Sejumlah insentif diberikan untuk memacu masyarakat membeli rumah. Teranyar, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan rumah baru dengan nilai di bawah Rp 2 miliar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memberikan diskon PPN hingga 50% untuk penjualan rumah dengan nilai Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Namun, diskon pajak 100% dan 50% tersebut hanya berlaku untuk pembelian rumah baru siap huni.
"Ini agar stock rumah berkurang sehingga memacu kembali produksi rumah dan menggerakan ekonomi," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pemberian Insentif Kendaraan Bermotor dan Perumahan, Senin (1/3).
Insentif hanya berlaku untuk pembelian satu unit rumah tapak atau susun oleh satu orang. Rumah tidak boleh dijual kembali dalam jangka waktu satu tahun dan hanya berlaku pada periode penyerahan Maret-Agustus 2021.
Sri Mulyani memperkirakan insentif ini akan memangkas potensi penerimaan negara Rp 5 triliun. Anggaran ini sudah masuk dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Bukan hanya diskon pajak, kelonggaran juga diberikan dalam hal mencicil rumah. Mulai 1 Maret, masyarakat juga dapat membeli rumah dengan sistem Kredit Pemilikan Rumah tanpa uang muka atau down payment 0%. Ini sesuai dengan pelonggaran loan to value kredit properti hingga 100% yang dirilis Bank Indonesia pada bulan lalu.
Wakil Ketua Real Estate Indonesia Bambang Ekajaya menjelaskan, insentif pembebasan dan diskon PPN pemerintah diharapkan dapat mengerek penjualan rumah. Apalagi, BI telah melonggarkan ketentuan terkait uang muka.
"Sejauh ini, uang muka 0% juga menjadi daya tarik bagi konsumen untuk membeli rumah, terutama kaum milenial," ujar Bambang kepada Katadata.co.id, Selasa (2/3).
Konsep uang muka 0%, menurut dia, sebenarnya sudah dipraktekkan pengembang pada rumah-rumah indent. Konsumen mengangsur uang muka layaknya membayar cicilan KPR.
"Dengan adanya keputusan uang muka 0%, secara promosi sangat bagus untuk menarik calon pembeli. Hanya perlu kemudahan dari perbankan untuk dapat memberikan KPR dengan uang muka 0%," katanya.
Ia berharap seluruh insentif yang diberikan pemerintah dan BI berpotensi mengerek penjualan rumah yang saat ini 'mati suri'. Sektor properti dapat menjadi lokomotif pemulihan ekonomi karena terkait dengan 179 industri dan menyerap lebih dari 30 jt lapangan pekerjaan.
Momentum Belum Tepat
Survei properti residensial BI menunjukkan penjualan properti pada kuartal IV 2020 mencatatkan penurunan 20,59% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan tersebut membaik dibandingkan kuartal ketiga tahun ini sebesar 30,93%.
Penurunan penjualan terjadi pada seluruh tipe rumah, terutama pada tipe besar yang anjlok 36,65%, tipe menangah turun 23,13%, dan tipe kecil turun 15,06%. Respoden survei menyampaikan, penurunan penjualan disebabkan oleh pandemi Covid-19, PSBB ketat di berbagai kota, dan suku bunga KPR.
Meski demikian, rata-rata suku bunga KPR per Desember sebenarnya menurun dari 8,63% pada akhir kuartal III menjadi 8,55%.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, kontraksi penjualan properti sebenarnya telah terjadi sejak kuartal ke empat tahun 2019. Pandemi Covid-19 semakin memukul penjualan properti
"Inisiasi untuk mendongkrak sektor properti melalui insentif pajak sebenarnya sangat baik. Namun dalam pemberian insentif pahak kepada sektor properti, momentum merupakan sesuatu yang penting," ujarnya kepada Katadata.co.id.
Ia menilai penerbitan insentif di sektor properti saat ini kurang tepat dari sisi momentum sehingga potensi yang ingin diraih pemerintah menjadi sulit tercapai. "Proses pemulihan ekonomi yang berjalan lambat seperti yang terjadi di awal tahun ini, saya kira kecenderungan khususnya kelompok kelas menengah atas untuk menahan konsumsi dan masih bertendensi untuk menabung masih cukup besar," katanya.
Hal ini diperkuat oleh dari data indeks keyakinan konsumen di hampir semua kelas pada Januari lalu yang menurun. Ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi menjadi lebih buruk dibandingkan periode akhir tahun lalu.
"Mereka tentu akan lebih selektif dalam melakukan konsumsi, apalagi seperti yang kita ketahui bersama bahwa rumah ini tentu bukan kebutuhan primer," katanya.
Di samping itu, menurut dia, bank juga tetap akan selektif dalam menyalurkan kredit perumahan, yakni kelompok yang memenuhi persyaratan.
Direktur Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk Lani Darmawan mengatakan penerapan LTV 100% atau uang muka 0% KPR akan disesuaikan dengan kondisi nasabah. "Tidak diterapkan sama, berbeda untuk tiap nasabah tergantung faktor risiko nasabah tersebut," ujar Lani kepada Katadata.co.id, pekan lalu.
Penerapan kebijakan yang berbeda sesuai profil risiko nasabah dilakukan untuk menghindari terjadinya kredit macet. Di tengah pandemi, risiko terjadinya kredit macet menjadi lebih tinggi bagi perbankan.
Corporate Secretary PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aestika Oryza Gunarto juga menjelaskan, pihaknya menerapkan kebijakan LTV berdasarkan penilaian dari masing-masing nasabah. "Kami optimistis dengan penyaluran yang pruden dan dengan prinsip kehati-hatian, relaksasi ini akan meningkatkan portofolio dan market share KPR BRI," kata Aestika kepada Katadata.co.id.
Bank Indonesia sebelumnya memperkirakan pelonggaran rasio loan to value (LTV) kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kredit pemilikan rumah (KPR) mampu menggenjot pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,5% pada tahun ini. "Ini berdasarkan kajian empiris, semakin longgar LTV, akan semakin longgar kredit yang bersangkutan," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung pekan lalu.