Pukulan Stimulus AS ke Pasar Keuangan Indonesia

123RF.com/Daniil Peshkov
Ilustrasi. Nilai tukar rupiah kemarin melemah ke Rp 14.405 per dolar AS tertekan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Penulis: Agustiyanti
10/3/2021, 08.11 WIB
  • Paket kebijakan AS senilai US$ 1,9 triliun atau setara Rp 27.400 triliun siap meluncur pekan depan. 
  • Pengesahan paket kebijakan AS mendorong aliran modal asing keluar dari pasar keuangan domestik. 
  • Nilai tukar rupiah anjlok ke posisi Rp 14.400 per dolar AS.

Amerika Serikat bersiap mengguyur stimulus tambahan US$ 1,9 triliun atau setara Rp 27.400 triliun untuk membangkitkan perekonomiannya yang terpuruk akibat Pandemi Covid-19. Meski belum benar-benar cair, efeknya sudah terasa ke pasar keuangan global, termasuk Indonesia.

Nilai tukar rupiah kemarin (9/3) ditutup melemah ke posisi Rp 14.405 per dolar AS. Dalam dua pekan terakhir, rupiah telah kehilangan 300 poin.

Penawaran yang masuk dalam lelang surat utang negara dan surat berharga syariah negara juga menurun. Dalam Lelang SUN pekan lalu, total penawaran yang dimenangkan hanya Rp 17 triliun dari traget indikatif pemerintah Rp 30 triliun.

Pemerintah akhirnya melaksanakan lelang surat utang tambahan atau greenshoe option dengan perserta lelang Bank Indonesia pada keesokan harinya. BI membeli surat utang negara dalam lelang tersebut Rp 28 triliun.

Sementara dalam lelang sukuk kemarin, total penawaran yang dimenangkan Rp 4,49 triliun dari target indikatif Rp 12 triliun. Pemerintah pun akan kembali menggelar lelang tambahan dengan peserta lelang BI pada hari ini.

Catatan Bank Indonesia pada pekan lalu hingga Kamis (4/2), aliran modal asing keluar Rp 1 triliun dari pasar surat berharga negara. Sementara pekan sebelumnya, modal asing keluar dari pasar SBN mencapai Rp 19,5 triliun.

Dikutip dari Reuters, paket kebijakan stimulus AS senilai US$ 1,9 triliun kemungkinan disahkan sebagai undang-undang pada akhir pekan ini. Stimulus ini merupakan salah satu paket bantuan untuk menahan laju kemiskinan terbesar di AS yang disahkan sejak 1960 dan disahkan hanya dalam watu dua bulan sejak kepresidenan Joe Biden.

Rancangan undang-undang ini akan disahkan oleh DPR sebelum diteken oleh Biden untuk menjadi UU. Salah satu anggota DPR AS dari Partai Demokrat menyebut RUU ini merupakan upaya mengatasi ketidaksetaraan dan kemiskinan di AS yang belum pernah dilihat sebelumnya selama satu generasi. Ini termasuk saat Obama memperluas proram perawatan kesehatan yang dikenal dengan Obamacare.

Namun, Anggota DPR AS dari Partai Republikan mengatakan, bantuan tersebut tidak tepat sasaran. Paket Stimulus ini memberikan bantuan US$ 1.400 atau setara Rp 20 juta kepada siapa pun warga AS yang berpenghasilan US$ 75.000 atau Rp 1,08 miliar ke bawah per tahun. "Ini termasuk mereka yang sebenarnya tidak kehilangan atau mengalami pengurangan pekerjaan karena pandemi," katanya.

DPR dan Senat AS saat ini dikuasai oleh Partai Demokrat yang mendukung Joe Biden. Ini berarti tanpa dukungan Partai Republik, mereka hanya kehilangan sedikit suara untuk menyepakati RUU ini.

Tidak ada anggota Partai Republik yang mendukung paket kebijakan ini. Liz Cheney dari Partai Republik mengatakan RUU ini akan menghasilkan kenaikan pajak.

"Kami akan dibebani dengan beban pajak yang benar-benar tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang apapun," katanya.

Taper Tantrum dan Pemulihan Ekonomi AS

Paket kebijakan triliunan dolar ini membawa harapan yang lebih besar bagi percepatan pemulihan ekonomi AS. Sentimen positif ditambah pengumuman Presiden AS Joe Biden mengenai terpenuhinya pasokan vaksin Covid-19 pada akhir Mei 2021 atau dua bulan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.

Bloomberg melaporkan pemulihan ekonomi AS juga terlihat dari data Non-Farm Payroll AS di sektor swasta nonpertanian mencapai 379 ribu pada Februari 2021, meningkat dibandingkan Januari yang tercatat 166 ribu.

Selain itu, tingkat pengangguran AS turun dari 6,3% menjadi 6,2%. Non-Farm Payroll merupakan perubahan jumlah tenaga kerja AS di semua sektor, kecuali pegawai pemerintah, ibu rumah tangga, yang bekerja pada organisasi non-profit (LSM) dan pertanian. Data ini mencerminkan kondisi ketenagakerjaan di sektor komersil dan industri di Negeri Paman Sam.

Faktor tersebut menyuntikkan optimisme pemulihan ekonomi yang tercermin dari survei bulanan Bloomberg terbaru yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal pertama 2021 secara tahunan akan mencapai 4,8%. Proyeksi ini dua kali lebih tinggi dari jajak pendapat ekonom pada dua bulan lalu.

Ekonom BCA David Sumual mengatakan perkembangan vaksinasi yang masih di AS memberikan ekspektasi pertumbuhan ekonomi negara tersebut yang lebih baik. Inflasi meningkat sehingga ikut mendorong yield obligas AS.

Kondisi ini turut berdampak pada aliran modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik dan nilai tukar rupiah. "Memang aliran modal asing ke luar tidak dapat dihindari. Namun kondisi ini masih wajar, investor mencari keseimbangan baru," ujar David kepada Katadata.co.id, Selasa (10/3).

David memperkirakan pemulihan ekonomi global tak berlangsung cepat. Bank Sentral AS pun kemungkinan belum mengetatkan kembali kebijakannya sehingga menimbulkan gejolak pasar seperti yang pernah terjadi pada 2013. "Apa yang dikhawatirkan pasar yakni taper tantrum, belum akan terjadi. Ini kemungkinan masih akan lama," kata David.

Selain itu, David menilai, nilai tukar rupiah saat ini yang bertengger di posisi Rp 14.400 per dolar AS sebenarnya justru sesuai dengan nilai fundamentalnya. Kurs rupiah yang sempat berada di bawah Rp 14 ribu per dolar AS, menurut dia, terlalu kuat dan tak bagus untuk eksportir. "Tepat untuk eksportir dan importir," ujarnya.

David juga memperkirakan aliran modal asing masih berpotensi masuk ke Indonesia seiring banjir likuiditas global yang masih akan terjadi.

Ekonom Chatib Basri pernah mengingatkan, Indonesia harus pulih lebih cepat dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat untuk menghindari arus modal keluar.

Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan, seluruh bank sentral dunia terutama AS, Tiongkok, dan Eropa sedang giat melakukan injeksi likuiditas di tengah krisis pandemi. Kucuran dana tersebut menyebabkan likuiditas global sangat longgar yang kemudian membuat aliran modal asing deras masuk ke aset berisiko, terutama Indonesia.

Jika ketiga negara tersebut sudah pulih, kebijakan moneter akan dinormalisasi. "Kalau saat itu Indonesia belum pulih, ini berisiko. Negara seperti AS akan melakukan pengetatan kembali kebijakan moneternya," ujar Chatib dalam Webinar Meet The Expert, Jumat (29/1).

Dengan demikian, arus modal yang tadinya masuk ke Indonesia akan berbalik ke AS. Kaburnya dana asing tersebut akan membuat pasar obligasi dan pasar saham RI anjlok. Implikasinya, nilai tukar rupiah berpotensi kembali melemah terhadap dolar AS.

Namun, Ekonom Eric Sugandi mengatakan tekanan terhadap rupiah dan mata uang negara-negara emerging market lainnya akibat kenaikan imbali hasil surat berharga AS hanya bersifat sementara.

"Pemulihan ekonomi di Amerika Serikat masih rapuh karena wabahnya belum sepenuhnya terkendali. Namun dibandingkan tahun lalu, tahun ini akan lebih baik," ujar Eric.

Potensi aliran modal asing keluar dari emerging markets, menurut dia, tetap ada. Namun hal tersebut kemungkinan hanya berlangsung sementara karena likuiditas global melimpah akibat kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif, terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara tersebut belum akan mengetatkan kebijakan fiskal dan moneter tahun ini.

"Jadi kalaupun ada outflows dari Indonesia, dana asing ini akan masuk lagi ketika koreksinya dianggap sudah cukup besar," katanya.