Alarm Bahaya Pemulihan Ekonomi RI Kalah Cepat daripada AS
- Kenaikan imbal hasil surat berharga AS menekan rupiah.
- Imbal hasil surat berharga AS naik karena ekspektasi pemulihan ekonomi AS.
- Pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari Indonesia dapat memicu aliran modal asing keluar.
Imbal hasil surat berharga Amerika Serikat yang melesat sejak pekan lalu menekan nilai tukar rupiah melemah dan sempat menyebut level Rp 14.300 per dolar AS. Kenaikan imbal hasil terjadi karena sentimen harapan pemulihan ekonomi Amerika Serikat.
Ekonomi AS sebenarnya belum sepenuhnya pulih. Namun, rencana stimulus tambahan Biden senilai US$ 1,9 triliun dan kabar percepatan target vaksinasi memberikan harapan pada pemulihan ekonomi AS.
Mengutip CNBC, Biden pada Selasa Malam (2/3) waktu Washington DC berjanji untuk menyediakan dosis vaksin yang cukup bagi seluruh orang dewasa di AS sebelum akhir mei. Ini dua bulan lebih awal dari perkiraan sebelumnya.
Rencana stimulus tambahan AS juga telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tinggal menunggu persetujuan senat. Sementara itu, data pengangguran AS terbaru meleset dari ekspektasi para ekonom. Lapangan kerja baru hanya bertambah 117 ribu pada Februari, dibawah ekspektasi para ekonom sebanyak 225 ribu lapangan kerja.
Imbal hasil treasury AS tenor 10 tahun saat ini berada di posisi 1,47%, naik dari posisi awal pekan tetapi masih lebih rendah dari pekan lalu yang mencapai 1,61%. Kenaikan imbal hasil AS menekan rupiah yang pada siang ini kembali ke level Rp 14.300 per dolar AS setelah sempat menguat kemarin.
Tak hanya rupiah, kenaikan imbal hasil obligasi AS berpengaruh pada hasil lelang surat utang negara. Pada lelang Selasa (2/3) penawaran yang dimenangkan hanya mencapai Rp 17 triliun, di bawah target indikatif Rp 30 triliun. Adapun total penawaran yang masuk Rp 49,73 triliun, lebih rendah dari lelang SUN sebelumnya Rp 60,84 triliun.
"Kondisi pasar surat berharga negara saat ini dipengaruhi volatilitas pergerakan UST Treasury Note," ujar Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan dalam keterangan resminya, Selasa (2/3).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, kenaikan imbal hasil surat berharga AS dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku pasar terhadap peningkatan inflasi AS dalam jangka pendek yang dikhawatirkan akan mendorong peningkatan cost of borrowing. Ekspektasi peningkatan inflasi AS dalam jangka pendek tersebut menguat merespon rilis data ekonomi AS yang menunjukkan tren yang membaik sedemikian sehingga pelaku pasar memperkirakan pemulihan ekonomi AS yang pada tahun ini.
"Tren kenaikan yield US treasury telah mendorong peningkatan yield SUN dengan tenor 5 dan 10 tahun masing-masing naik sekitar 55 bps dan 40 bps sepanjang Februari," ujar Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (3/3).
Kenaikan imbal hasil surat berharga AS juga mendorong penurunan kepemilikan asing terhadap SBN sekitar US$ 1,06 miliar. "Namun, kenaikan imbal hasil obligasi AS belum mencerminkan perbaikan fundamental ekonomi AS," katanya.
Bank Sentral AS, The Federal juga memastikan belum akan melakukan tapering terhadap program pembelian obligasi pemerintah AS dan masih akan mempertahankan suku bunga acuan Fed sekalipun kondisi perekonomian AS cenderung membaik. Ia pun memperkirakan investor global diperkirakan melakukan portfolio rebalancing dalam jangka pendek ini.
Selain faktor selisih imbal hasil surat berharga AS dengan Indonesia, menurut dia, faktor selisih capaian pertumbuhan ekonomi antara kedua negara juga akan mempengaruhi. Hal ini dapat membatasi aliran modal asing yang keluar.
"Progres program vaksin yang diharapkan dapat dipercepat dibandingkan ekspektasi, tentunya dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional sehuingga bisa menjaga stabilitas nilai tukar.
Bahaya Kalah Cepat dari AS
Ekonom Chatib Basr pernah mengingatkan, Indonesia harus pulih lebih cepat dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat untuk menghindari arus modal keluar.
Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan, seluruh bank sentral dunia terutama AS, Tiongkok, dan Eropa sedang giat melakukan injeksi likuiditas di tengah krisis pandemi. Kucuran dana tersebut menyebabkan likuiditas global sangat longgar yang kemudian membuat aliran modal asing deras masuk ke aset berisiko, terutama Indonesia. Jika ketiga negara tersebut sudah pulih, kebijakan moneter akan dinormalisasi.
"Kalau saat itu Indonesia belum pulih, ini berisiko. Negara seperti AS aan melakukan pengetatan kembali kebijakan moneternya," ujar Chatib dalam Webinar Meet The Expert, Jumat (29/1).
Saat ekonomi Negeri Paman Sam pulih, tingkat bunga di pasar keuangan negara tersebut akan naik. Dengan demikian, arus modal yang tadinya masuk ke Indonesia akan berbalik ke AS. Kaburnya dana asing tersebut akan membuat pasar obligasi dan pasar saham RI anjlok. Implikasinya, nilai tukar rupiah berpotensi kembali melemah terhadap dolar AS.
Saat ini, Indonesia diminati investor asing di pasar keuangan karena likuiditas global yang berlimpah. Suku bunga Surat Berharga Negara juga cukup tinggi di tengah bunga acuan yang rendah.
Pekan lalu, modal asing keluar dari pasar keuangan domestik mencapai Rp 18,27 triliun. Asing keluar dari instrumen surat berharga negara Rp 19,5 triliun, tetapi masuk pada instrumen saham Rp 1,23 triliun.
Namun, Ekonom Eric Sugandi mengatakan tekanan terhadap rupiah dan mata uang negara-negara emerging market lainnya akibat kenaikan imbali hasil surat berharga AS hanya bersifat sementara.
"Pemulihan ekonomi di Amerika Serikat masih rapuh karena wabahnya belum sepenuhnya terkendali. Namun dibandingkan tahun lalu, tahun ini akan lebih baik," ujar Eric kepada Katadata.co.id, Rabu (3/3).
Potensi aliran modal asing keluar dari emerging markets, menurut dia, tetap ada. Namun, hal tersebut kemungkinan hanya akan berlangsung sementara karena likuiditas global melimpah akibat kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif, terutama di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara tersebut belum akan mengetatkan kebijakan fiskal dan moneter tahun ini.
"Jadi kalaupun ada outflows dari Indonesia, dana asing ini akan masuk lagi ketika koreksinya dianggap sudah cukup besar," katanya.
Eric memperkirakan rupiah tahun ini akan cenderung menguat dan berada di rentang Rp 13.700 hingga Rp 14.000 per dolar AS.