Ditjen Pajak Pastikan Sembako di Pasar Tradisional Tak Akan Kena PPN

ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/rwa.
Ilustrasi. Ditjen Pajak memastikan bahan kebutuhan pokok yang dijual di pasar tradisional tak akan dikenakan PPN.
14/6/2021, 14.03 WIB

Direktorat Jenderal Pajak memastikan tak akan memungut pajak pertambahan nilai (PPN) untuk jenis barang kebutuhan pokok atau sembako yang dijual di pasar tradisional. Hal tersebut merespons rencana pemerintah menghapus sembako sebagai objek PPN yang dikecualikan  di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Barang sembako yang dijual di pasar tradisional ini tentunya tidak akan dikenakan PPN," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor dalam media briefing, Senin (14/6).

Ia menjelaskan, akan terdapat perbedaan pengenaan PPN sembako dalam usulan RUU KUP. Barang kebutuhan yang akan terkena PPN hanya yang bersifat premium. 

Neilmaldrin menilai bahwa aturan PPN yang berlaku saat ini tidak mengenali kemampuan masyarakat untuk membayar. Padahal, PPN yang dikenakan atas smebako pada akhirnya  ditunjukkan untuk membantu masyarakat kelas menengah ke bawah. 

"Kadang-kadang yang mampu justru tidak membayar pajak karena mengonsumsi barang atau jasa yang tidak dikenai PPN," ujarnya.

Kendati demikian, Neilmaldrin  belum mau membeberkan besaran tarif yang akan dikenakan kepada sembako premium. Ia beralasan pengaturan PPN masih harus melalui pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Rencana pengenaan tarif PPN untuk sembako tertuang dalam draf RUU Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berdasarkan Pasal 4A dalam beleid yang diterima Katadata.co.id tersebut, sembako dihapus dari jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017, sembako yang tidak dikenakan PPN, meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, dan telur. Kemudian, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Sebelumnya, Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi)  memprotes rencana pemerintah untuk menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. Ketua Umum Ikappi Abdullah Mansuri mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menggulirkan kebijakan. Apalagi, kebijakan tersebut dikeluarkan pada masa pandemi dan situasi perekonomian yang saat ini masih sulit. 

“Sebagai organisasi penghimpun pedagang pasar di Indonesia, kami akan melakukan upaya protes kepada Presiden agar kementerian terkait tidak melakukan upaya yang justru menyulitkan anggota kami,” kata Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/6).

Ia mengatakan, saat ini pedagang pasar sedang kesulitan. Omzet menurun karena lemahnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19.

Sementara itu, pemerintah dinilai belum mampu melakukan stabilitas bahan pangan di beberapa bulan terakhir. Ia menyebut, harga cabai bulan lalu bisa mencapai Rp 100 ribu, harga daging sapi juga belum stabil. Pemerintah seharusnya tidak menambah beban masyarakat. “Sekarang mau dibebani PPN lagi? Kami sudah kesulitan jual karena ekonomi menurun, dan daya beli masyarakat rendah. Kalau ditambah PPN, kami bisa gulung tikar,” kata dia.

Reporter: Agatha Olivia Victoria