Kemenkeu Tak Berniat Pungut PPN atas Biaya Bersalin

ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman/foc/dj
Ilustrasi. Kementerian Keuangan memastikan biaya persalinan tak akan dikenakan PPN karena merupakan pelayanan kesehatan dasar.
14/6/2021, 15.22 WIB

Pemerintah menghapus jasa pelayanan kesehatan medis dari objek yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Meski begitu, Kementerian Keuangan mengatakan bahwa penghapusan tersebut tidak berarti akan ada pungutan PPN atas biaya bersalin.

Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan bahwa penghapusan objek dari daftar pengecualian PPN tidak membuat jasa tersebut otomatis terkena pajak. "Tidak ada niat sedikit pun memajaki biaya persalinan," ujar Yustinus kepada Katadata.co.id, Senin (14/6).

Menurut dia, seluruh biaya persalinan tidak akan dikenakan pajak apapun. Hal tersebut merupakan layanan kesehatan dasar.

Berdasarkan ayat 3 pasal 4A draf RUU KUP yang diterima Katadata.co.id, pelayanan kesehatan medis dihapus dari jenis barang yang tidak dikenai PPN. Adapun dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 82/PMK.03/2012, jasa pelayanan kesehatan medis meliputi jasa dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, ahli fisioterapi, serta jasa dokter hewan.

Selanjutnya, jasa kebidanan dan dukun bayi, jasa paramedis dan perawat, jasa rumah sakit, rumah bersalin, dan klinik kesehatan. Lalu, laboratorium kesehatan, sanatorium jasa psikologi dan psikiater, serta jasa pengobatan alternatif.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengatakan, reformasi perpajakan tahun depan akan meliputi dua aspek perbaikan, yakni administratif dan kebijakan. Reformasi administrasi meliputi penguatan institusi dan sumber daya manusia, integrasi sistem informasi dan basis data perpajakan, serta simplifikasi administrasi.

Reformasi perpajakan juga akan mencakup penajaman fungsi pengawasan untuk ekstensifikasi-intensifikasi perpajakan, serta penegakan hukum yang berkeadilan. "Sedangkan reformasi kebijakan diarahkan untuk perluasan basis pemajakan dan mencari sumber baru penerimaan negara," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR, akhir Mei 2021.

Reformasi pajak di aspek kebijakan dilakukan, antara lain dengan menyempurnakan pemungutan PPN dan mengurangi regresivitasnya, penguatan kebijakan pengenaan pajak penghasilan (PPh) khususnya bagi orang pribadi, serta potensi pengenalan jenis pungutan baru terkait pemajakan eksternalitas terhadap lingkungan.

Ketua umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, rencana pemerintah menaikkan tarif PPN akan membuat daya beli masyarakat menurun. Kenaikan PPN akan membuat harga barang atau jasa semakin mahal. 

“Kalau begini, kami jadi susah jual barang. Karena mau tidak mau, harga harus kita naikkan,” kata Budihardjo kepada Katadata.co.id, awal Juni 2021.

Ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikkan tarif PPN karena kondisi perekonomian masih belum pulih. “Saat ini, kami berharapnya pemerintah memberikan stimulus untuk sektor retail berupa penghapusan PPN dari harga barang dan jasa selama beberapa bulan,” kata dia.

Menurut Budihardjo, ketika ekonomi pulih, pemerintah perlu menggenjot penerimaan negara. Namun, hal itu sebaiknya dilakukan dengan memperluas jumlah wajib pajak, bukan menaikkan tarif PPN.

Reporter: Agatha Olivia Victoria