Badan Pusat Statistik mencatat pandemi Covid-19 berdampak pada kenaikan pengangguran, terutama pada kelompok anak muda berusia 20-29 tahun. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada penduduk usia 20-24 tahun pada Februari 2021 sebesar 17,66% sementara penduduk usia 25-29 tahun 9,27%.
"Pengangguran selama pandemi ini yang menjadi catatan adalah pengangguran di usia muda yang cukup tinggi, terutama ada kelompok muda," kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuanga, Bappenas, Bank Indonesia, OJK dan BPS, Senin (30/8).
Pengangguran pada penduduk usia 20-24 tahun pada Februari 2021 meningkat 336 poin dibandingkan Februari 2020 sebesar 14,3%. Sedangkan pengangguran pada pendudukan usia 25-29 tahun meningkat 226 poin dibandingkan TPT periode yang sama tahun lalu 7,01%.
Tingkat pengangguran meningkat hampir pada seluruh kelompok usia, kecuali usia 15-19 tahun yang justru turun dari 21,32% tahun lalu menjadi 18,88% pada Februari tahun ini. Pengangguran usia 30-34 naik dari 3,26% menjadi 4,94%, usia 35-39 naik dari 2,63% menjadi 3,74%, usia 40-44 naik dari 2,02% menjadi 3,55%, usia 45-49 naik dari 1,88% menjadi 3,27%, usia 50-54 naik dari 2,09% menjadi 3,01%, usia 55-59 naik 2,43% menjadi 3,17% serta penduduk di atas 60 tahun naik dari 1,08% menjadi 1,29%.
Dari sisi pendidikan, Margo juga menyoroti masih tingginya pengangguran yang berasal dari lulusan SMA, SMK dan pendidikan tinggi universitas. TPT dari lulusan SMA naik dari 6,69% tahun lalu menjadi 8,55% tahun ini, begitu juga pada lulusan SMK yang naik dari 8,42% menjadi 11,45% serta universitas dari 5,70% menjadi 6,97%.
Mayoritas kelompok pendidikan lainnya juga mengalami kenaikan TPT. Tingkat pengangguran pada lulusan SD ke bawah naik dari 2,60% menjadi 3,13% dan SMP naik dari 4,99% menjadi 5,87%. Sementara TPT pada lulusan diploma justru turun tipis dari 6,69% menjadi 6,61%.
"Kita tahu bahwa kalau pengangguran dengan edukasi yang baik biasanya tuntutannya banyak, ini juga menjadi persoalan sosial yang juga perlu sama-sama kita pikirkan," ujar Margo.
Margo juga menjelaskan, dua tantangan utama pada kondisi ketenagakerjaan saat ini akibat pandemi Covid-19. Pertama, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor usaha yang memiliki produktivitas rendah, salah satunya pertanian.
"Dengan bertambahnya orangg yang bekerja di sektor pertanian dan perdagangan ini mengakibatkan produktivitasnya justru turun, artinya beban sektor pertanian dan perdagangan ini semakin bertambah," kata Margo.
Kedua, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor informal selama pandemi. Jam kerja pekerja di sektor formal juga mengalami penurunan. Komposisi pasar tenaga kerja makin didominasi pekerja informal, porsinya naik dari 56,64% tahun lalu menjadi 59,61%. Penambahan ini membuat komposisi pekerja formal menyusut dari 43,36% menjadi 40,38%.
Dari sisi jam kerja, BPS juga mencatat jumlah pekerja penuh berkurang dari porsinya 69,8% tahun lalu menjadi 64,2%. Sementara komposisi pekerja paruh waktu naik dari 23,83% menjadi 27,09% dan pekerja setengah pengangguran naik dari 6,34% menjadi 8,71%.
Selain pengangguran, Margo mengatakan, pandemi mengakibatkan bertambahnya jumlah kemiskinan ekstrem yang dihitung dengan standar global pengeluaran per kapitas US$ 1,9 per hari. Kemiskinan ekstrem pada Maret 2021 sebesar 4% mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir.
"Kondisi kemiskinan kita juga meningkat, namun catatan penting yang perlu diperhatikan adalah kemiskinan ekstrem yang meningkat," kata Margo.
Kemiskinan ekstrem terus mengalami penurunan sejak tahun 2014, bahkan sempat menyentuh level terendah pada tahun 2019 di level 3,7%. Jumlahnya mengalami kenaikan tipis pada tahun lalu menjadi 3,8% dan naik lagi tahun ini.
Secara spasial, Margo menyebut penduduk yang masuk dalam kategori ekstrem sebagian besar berada di pulau Jawa. Jawa Barat 1.785.600 orang, Jawa Timur 1.747.000 orang dan Jawa Tengah 1.527.600 orang. Namun jika berdasarakn persentase terhadap jumlah penduduk, kemiskinan ekstrem tertinggi di Papua Barat 13,6%, disusul Papua 13,1% dan Nusa Tenggara Timur 9,5%.