Bank Indonesia (BI) melaporkan aliran modal asing neto yang masuk ke pasar keuangan domestik sebesar Rp 710 miliar dalam sepekan terakhir. Dana asing yang masuk semakin lesu bersamaan dengan depreasiasi rupiah yang tertekan sentimen tapering off The Fed.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono merincikan, jumlah dana asing yang kabur dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1,35 triliun, tetapi masih ada beli neto di pasar saham Rp 2,06 triliun.
"Berdasarkan data setelmen sejak awal tahun 2021, terdapat nonresiden beli neto sebesar Rp 11,55 triliun," kata Erwin dalam keterangan resminya, Jumat (22/10).
BI juga melaporkan tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun per 21 Oktober turun ke level 82,17 bps dari 84,82 bps pada 15 Oktober.
Imbal hasil atau yield SBN tenor 10 tahun terpantau naik ke level 6,18% pada 22 Oktober, bersama dengan kenaikan yield US Treasury tenor 10 tahun ke level 1,701% pada 21 Oktober.
Investor asing yang keluar dari pasar SBN tampaknya ikut menyeret rupiah hingga melemah pada perdagangan sepekan terakhir.
Rupiah ditutup pada level Rp 14.123 per dolar AS. Kurs garuda melemah 0,34% dari posisi penutupan pekan lalu Rp 14.075.
Pelemahan nilai tukar sepekan terakhir terutama terpengaruh sentimen tapering off The Fed yang masih cukup kuat.
Ini tercermin dari kenaikan imbal hasil atau yield US Treasury dalam beberapa hari terakhir, hari ini menyentuh di atas 1,7%. Ini merupakan rekor tertinggi dalam lima bulan terakhir.
Seperti diketahui, sentimen tapering off kembali menguat dalam dua pekan terakhir usai notulen rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) edisi September rilis awal bulan ini.
Berdasarkan dokumen tersebut, The Fed berencana memulai tapering berupa pengurangan pembelian aset paling cepat pada pertengahan bulan depan atau Desember.
Sentimen tapering The Fed diperkuat oleh rilis data ketenagakerjaan yang mengindikasikan adanya jumlah pengangguran baru semakin sedikit.
Hal ini tercermin dari jumlah klaim asuransi pengangguran baru dilaporkan hanya 290 ribu pada pekan yang berakhir pada 16 Oktober. Ini merupakan terendah sejak pandemi.
Di sisi lain, tekanan inflasi tampaknya juga mendorong The Fed untuk mempercepat pengetatan stimulus. Hal serupa sudah dilakukan sejumlah bank sentral.
Bank sentral Inggris (BoE) diperkirakan bakal menjadi bank sentral besar dunia pertama yang akan menaikkan suku bunga. Pasar memperkirakan BoE akan memulai kenaikan suku bunga akhir tahun ini atau pada awal tahun depan.
Beberapa bank sentral lainnya sudah mulai mengakhir kebijakan moneter longgar sebagai respon atas inflasi yang memanas, termasuk Bank sentral Selandia Baru dan Korea Selatan.
Selain itu, pelemahan rupiah tampaknya juga ikut terpengaruh oleh krisis utang Evergande. Pasar tampaknya menanti kepastian apakah raksasa korporasi tersebut mampu melunasi tagihan kupon obligasi luar negerinya yang jatuh tempo akhir pekan ini.
Jika kembali melewatkan pembayaran, secara teknis perusahaan mengalami default atau gagal bayar.
Sekalipun cenderung melemah, rupiah sempat bergerak menguat pada awal pekan. Sentimen penguatan terutama dari dalam negeri, dimana pemerintah melaporkan neraca dagang yang kembali surplus sebesar US$ 4,37 miliar pada September.
Selain itu, sentimen penguatan juga datang dari sejumlah perusahaan di AS yang melaporkan pendapatan kuartal III yang memuaskan.
Raksasa jasa keuangan dan bank investasi lainnya yang juga melaporkan pendapatan moncer yakni Morgan Stenley. Perusahaan melaporkan pendapatan US$ 14,75 miliar, di atas ekspektasi US$ 14 miliar.