Utang Indonesia saat ini mencapai Rp 8.680 triliun di bawah kepemimpinan Prabowo, dengan Debt Service Ratio (DSR) yang diperkirakan mencapai 45%, menandakan kondisi fiskal yang berisiko tinggi.
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mengumumkan pembayaran utang burden sharing senilai Rp 100 triliun yang jatuh tempo pada 2025 melalui skema debt switching.
Inflasi tahunan November turun menjadi 1,55%, namun penurunan tersebut belum cukup bagi Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga acuan, yang tetap di 6%.
Pada awal Desember 2024, Indonesia mencatat aliran keluar bersih modal asing sebesar Rp 5,13 triliun. Hal ini menandai tantangan baru bagi stabilitas ekonomi nasional.
Presiden Prabowo Subianto mengesahkan Perpres Nomor 201 Tahun 2024, memfokuskan pada penarikan utang baru sejumlah Rp 775,86 triliun untuk menanggulangi defisit APBN 2025.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan peraturan baru yang memungkinkan BUMN dan pemerintah daerah meminjam dari dana saldo anggaran lebih (SAL), dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas.
Bank Indonesia komitmen menjaga nilai tukar Rupiah dengan intervensi pasar dan optimalisasi SRBI, serta menahan BI-Rate di 6% untuk kendalikan inflasi agar tetap dalam target pemerintah.
Indef mendesak pemerintah untuk memastikan utang baru digunakan dalam belanja produktif yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, mengingat pengaruhnya terhadap penerimaan perpajakan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pemerintah mengadakan lelang SBN secara rutin setiap dua minggu sebagai langkah strategis pengelolaan utang.
utang pemerintah Indonesia mengalami kenaikan signifikan menjadi Rp 8.473,90 triliun dengan rasio utang terhadap PDB meningkat, meski masih di bawah batas aman yang ditetapkan undang-undang.
Ekonom merespon positif terhadap pengangkatan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, yang diyakini akan mendukung perkembangan pasar keuangan dan memberikan kepercayaan pada investor.