BI Cermati 5 Risiko Global, Tapering Off The Fed Hingga Aset Kripto

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pemulihan ekonomi global akan semakin seimbang tahun depan.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
24/11/2021, 13.23 WIB

Bank Indonesia memperkirakan pemulihan ekonomi global berlanjut pada tahun depan. Kendati demikian, Bank Sentral menilai terdapat lima risiko yang masih akan membayangi perekonomian, di antaranya dampak tapering off dan perkembangan aset kripto.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan pemulihan ekonomi global akan semakin seimbang tahun depan. Ini didorong tiga faktor, yakni meredanya pandemi Covid-19, pembukaan sektor-sektor ekonomi, serta berlanjutnya stimulus ekonomi. Ekonomi beberapa kawasan juga mulai menunjukkan pemulihan, terutama di Jepang, Eropa, India dan ASEAN-5.

"Tapi muncul lima masalah baru yang perlu dicermati, pertama normalisasi kebijakan negara maju dan ketidakpastian pasar keuangan dunia," kata Perry dalam pidatonya di acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), Rabu (24/11).

Seperti diketahui, sejumlah bank sentral negara maju mulai bersiap mengakhir periode kebijakan moneter longgar seiring tekanan inflasi. Antisipasi terutama terhadap rencana tapering off alias pengetatan stimulus oleh bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).

Bank sentral terbesar dunia itu berencana mengurangi quantitative easing sebesar US$ 15 miliar dari pembelian rutin US$ 120 miliar mulai akhir bulan ini. Isu tapering ini terus bergulir dan kini pasar bertaruh terkait peluang kenaikan bunga acuan yang bakal dilakukan lebih cepat. Kenaikan bunga lebih cepat berpotensi mendorong aliran modal keluar dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain The Fed, beberapa negara lain juga sudah lebih memulai excit policy. Australia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan hingga Rusia termasuk dalam daftar negara yang memperketat moneternya. Hal ini untuk merespon harga-harga yang terus melonjak di negara-negara tersebut.

Kedua, dunia akan menghadapi risiko efek luka memar akibat pandemi terhadap korporasi dan stabilitas sistem keuangan. "Ketiga, Meluasnya sistem pembayaran digital antarnegara dan risiko aset kripto," kata Perry.

Dalam laporan Kajian Stabilitas Keuangan yang dirilis bulan lalu, BI memastikan akan terus memonitor transaksi kripto di tanah air seiring jumlah investor aset ini yang terus meningkat. BI memperkirakan jumlah investor kripto hingga Juni 2021 telah mencapai 6,5 juta. Jumlah ini bahkan dua kali lebih banyak dibandingkan investor di pasar saham sebanyak 2,4 juta.

Meski demikian, nilai dari perdagangan aset kripto ini cenderung masih kecil jika dibandingkan transaksi di pasar saham yang bisa mencapai Rp 35 triliun per hari. Bank Sentral menilai perdagangan aset kripto di dalam negeri masih bersifat early stage alias tahap awal. Hal ini terlihat dari fasilitas yang dimiliki oleh pedagang yang masih terbatas di pasar spot.

Keempat, semakin kuatnya tuntutan terhadap ekonomi dan keuangan hijau dari negara maju. Kelima, melebarnya kesenjangan dan perlunya inklusi keuangan, terutama antara negara maju dan berkembang.

"Dengan meningkatnya ketidakpastian global, kebijakan moneter akan mendukung stabilitas, sementara empat kebijakan lain yaitu makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pengembangan pasar uang, serta pengembangan UMKM dan ekonomi keuangan syariah akan tetap pro-growth," kata perry.

Perry mengatakan, kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus dilakukan sebagai upaya mitigasi atas normalisasi yang The Fed. Kebijakan suku bunga rendah juga akan tetap dipertahankan sampai ada tanda-tanda awal kenaikan inflasi.

Reporter: Abdul Azis Said