Badan Pemeriksa Keuangan masih menemukan sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan belanja program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada tahun lalu. Salah satunya, pelaksanaan belanja sebesar Rp 9 triliun yang berada di 10 Kementerian/Lembaga pada tahun lalu tidak memadai.
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2021, BPK melihat pengendalian pada K/L dan peran aparat Pengawas intern pemerintah (APIP) dałam pengawasan atas pelaksanaan program PEN belum optimal. Hal ini mengakibatkan pengeluaran tersebut belum diyakini kewajarannya.
BPK juga menemukan realisasi insentif dan fasilitas perpajakan tahun lalu minimal sebesar Rp1,69 triliun tidak sesuai dengan ketentuan. Hal ini mengakibatkan kelebihan pencatatan penerimaan pajak ditanggung pemerintah (DTP) Rp24,12 miliar, kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya Rp 967,46 miliar, serta nilai insentif dan fasilitas perpajakan minimal Rp706,04 miliar belum dapat diyakini kewajarannya.
Menurut BPK temuan tersebut terutama disebabkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) belum optimal dalam mengadministrasikan informasi pelaksanaan program insentif dan fasilitas perpajakan. DJBC juga belum optimal mengawasi pelaksanaan penelitian tarif atas importasi yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk, termasuk pengujian dan tindak lanjut yang dilakukannya.
“Selain itu, kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Belanja BUN pada DJP tidak teliti dalam melakukan pengujian formal dan material atas tagihan belanja subsidi pajak DTP,” demikian tertulis dalam laporan BPK yang dirilis pekan ini.
Temuan BPK pada program PEN juga mencakup masalah penyaluran subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan non-KUR, serta Kartu Prakerja. Pemerintah belum memperhatikan kesiapan pelaksanaan program sehingga terdapat sisa dana kegiatan/program yang belum disalurkan sebesar Rp6,77 triliun. Akibatnya, realisasi penyaluran program tersebut belum menunjukkan yang sesungguhnya.
“Hal ini disebabkan, Menteri Keuangan belum menetapkan peraturan terkait dengan pengelolaan rekening penampungan sisa dana belanja lain-lain kartu prakerja sebagai dana cadangan,” kata BPK.
Auditor negara turut pula menembukan bahwa pemerintah belum mengetahui sisa dana PC-PEN 2020 dan kegiatan PC-PEN 2020 yang akan dilanjutkan pada 2021. Hal ini mengakibatkan kegiatan PC-PEN 2020 yang akan dilanjutkan/dibayar pada 2021 tidak dapat dipastikan secara andal.
Menurut BPK penyebab masalah ini adalah karena Menteri Keuangan belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja/pembiayaan PC-PEN 2020 dari sisa dana SBN PC-PEN 2020 dan belum selesai mengidentifikasi kegiatan PC-PEN 2020 yang akan dilanjutkan/dibayar pada 2021.
Dalam tanggapan yang diberikan dalam laporan BPK, Menteri Keuangan Sri Mulyani berjanji untuk menyempurnakan mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam penanganan dampak pandemi COVID-19 pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Sri Mulyani juga akan melakukan penandaan belanja dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
Ia juga menjanjikan bahwa DJP dan DJBC akan melakukan pengembangan dan penyempurnaan sistem pengajuan insentif WP pada situs resmi DJP online, memperbaiki mekanisme pengolahan atau verifikasi laporan realisasi dan mekanisme pencairan insentif/ fasilitas (DTP). Kedua lembaga ini juga akan mengawasi kepatuhan perpajakan dari WP yang memanfaatkan insentif/fasilitas.
Sri Mulyani juga akan melakukan koordinasi dengan K/L dan APIP K/L untuk memperbaiki sistem pengawasan, serta meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan anggaran yang terkait dengan penanganan dampak pandemi Covid-19. Ia akan turut mempersiapkan peraturan terkait dengan pengelolaan rekening penampungan sisa dana Belanja Lain-Lain Kartu Prakerja sebagai dana cadangan
Terakhir, Sri Mulyani melakukan identifikasi dan rekonsiliasi atas sisa dana PC-PEN 2020, serta program/kegiatan PC-PEN 2020 yang dilanjutkan pada 2021 sesuai dengan pengaturan dalam PMK Nomor 187/PMK.05/2020.