Indonesia bisa keluar dari middle income trap alias jebakan negara berpendapatan menengah pada 2045 mendatang asalkan pemerintah lebih serius mendukung pendanaan untuk penelitan dan riset di Indonesia.
"Kalau pemerintah mau keluar dari middle income trap faktor pentingnya adalah riset, teknologi dan manajemen dalam konteks pembangunan," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono dalam Launching Analisis Tema Khusus LF SP 2020, Senin (13/12).
Berdasarkan perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia akan kesulitan naik kelas menjadi negara pendapatan tinggi atau high income country jika perekonomian tumbuh dalam laju yang sama. Adapun perekonomia Indonesia rata-rata tumbuh 5% selama lima tahun terakhir.
Indonesia perlu mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi 6% untuk menjadi negara maju usia kemerdekaan genap 100 tahun. Pertumbuhan yang lebih agresif 7% bahkan bisa membantu Indonesia mencapai predikat negara pendapatan tinggi sebelum 2040.
Margo mengutip hasil riset dari Universitas Latvia pada 2016. Riset tersebut menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara pengembangan riset sebuah negara yang semakin baik dengan potensi pertumbuhan ekonomi.
Dampaknya akan terlihat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila pemerintah menaikkan anggaran untuk penelitian dan riset sebesar 10% dalam jangka pendek, maka ada potensi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 0,2%. Dalam jangka panjang dengan besaran yang sama, maka akan meningkatkan PDB hingga 0,9%.
Karena itu, Margo mengatakan riset dari Universitas Latvia tersebut menunjukkan bahwa dukungan terhadap riset akan memberi dampak yang penting terhadap pembangunan di masa depan. Dalam hal ini, dukungan terhadap pengembangan riset menjadi kunci jika Indonesia ingin mencapai cita-cita menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.
"Jadi tidak lagi mengandalkan capital dan tenaga kerja, tapi inovasi menjadi bagian tidak terpisahkan bagaiamana kalau kita mau meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita dan keluar dari middle income trap," kata Margo.
Hanya saja dia juga menyayangkan anggaran yang disediakan pemerintah untuk penelitin selama ini masih sangat minim. Mengutip data R&D World, alokasi belanja pemerintah untuk riset terhadap PDB, Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara Asia lainnya. Indonesia jauh di bawah Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan.
"Disini terlihat bahwa di Asia saja kita kalah dibandingkan Malaysia," kata Margo.
Pemerintah tidak mempublikasikan besaran anggaran penelitian yang disediakan dalam APBN setiap tahunnya. Pada 2019, Sri Mulyani sempat mengatakan anggaran penelitian periode tersebut sebesar Rp 35,7 triliun, anggaran ini masuk dalam belanja pendidikan yang setiap tahun dialokasikan 20% dari APBN.
Dari anggaran tersebut, terdapat dana Rp 990 miliar yang disalurkan melalui dana abadi penelitian. Dana abadi penelitian tersebut dibagikan kepada berbagai perguruan tinggi. Adapun pada tahun ini, dana abadi penelitian sebesar Rp 3 triliun, turun dari Rp 5 triliun pada tahun lalu.