Langkah pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) membayangi perekonomian sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Kendati demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan Indonesia cukup tangguh atau resilient untuk merespons gejolak ini.
Sri Mulyani mengatakan daya tahan Indonesia ini dibuktikan oleh hasil survei yang dilakukan oleh majalah The Economist. Survei ini menganalisi kondisi makroekonomi dari 40 negara dunia untuk menghitung indeks kerentanannya terhadap kebijakan moneter The Fed.
"Indonesia ada di kawasan yang releatif di bawah (indeks kerentanan kecil) dan ini menggambarkan kemampuan Indonesia yang dianggap lebih resilien," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTA, Selasa (21/12).
Berdasarkan survei tersebut, indeks kerentanan Indonesia sebesar 15 poin. RI setara dengan Polandia, tetapi lebih tinggi satu poin dari Filipina. Semakin besar Indeks, maka kerentananya semakin tinggi.
Survei ini mengambil lima indikator dampak tapering off ke makroekonomi. Dari sisi risiko utang luar negeri, indeks kerentanan Indonesia tercatat sebesar 22 poin. Indeks kerentaan cadangan devisa sebesar 20 poin, dan indeks untuk neraca transaksi berjalan 18 poin.
Risiko tapering off The Fed terhadap utang pemerintah cenderung rendah dengan indeks 12 poin. Risiko terhadap kenaikan harga konsumen atau menyebabkan lonjakan inflasi juga cenderung rendah hanya 5 poin.
Di Kawasan Asia Tenggara, indeks kerentanan Indonesia masih berada di bawah Malaysia yang mencatat 19 poin. Risiko tapering off The Fed terhadap utang luar negeri Malaysia sangat tinggi mencapai 35 poin. Risiko utang pemerintahan Negeri Jiran ini juga mencatatkan indeks tinggi mencapai 29 poin.
Namun, Indonesia juga masih lebih rentan dibandingkan Filipina yang memiliki indeks kerentaan 14 poin, serta Thailanda dan Vietnam, yang masing-masing 12 poin dan 10 poin.
Sekalipun diklaim cukup berdaya tahan, Sri Mulyani mengatakan risiko masih cukup tinggi pada tahun depan. Hal ini sejalan dengan langkah pengetatan moneter yang kemungkinan akan berlangsung dalam rentang waktu berdekatan oleh sebagian besar negara maju.
"Tidak berarti kita akan kehilanagan kewapsadaan, karena situasi akan sangat volatile pada tahun 2022 yang berasal penyesuaian kebijakan moneter oleh negara-negara maju akibat tekanan inflasi," kata Sri Mulyani
Risiko inflasi tinggi masih membayangi sejumlah negara maju tahun depan. Hal ini dipengaruhi masalah keterbatasna tenaga kerja dan juga gangguan rantai pasok yang masih akan berpengaruh sekalipun sudah mulai menunjukkan perbaikan.
Tiga bank sentral utama dunia mengumumkan pengetatan moneter pekan lalu. Bank sentral AS (The Fed) mempercepat tapering offnya bulan depan sehingga ada peluang kenaikan suku bunga juga akan lebih cepat yakni pada paruh kedua tahun 2022.
Bank sentral Eropa (ECB) juga akan mengakhiri quantitative easing-nya pada Maret 2022. ECB rutin membeli obligasi pemerintah untuk membiayai pandemi melalui Program Pembelian Darurat Pandemi (PEPP) yang bernilai 1,85 triliun euro. Pembelian akan dikurangi secara moderat mulai awal tahun depan dan resmi berakhir di akhir kuartal pertama.
Selain itu, bank sentral Inggris (BOE) juga mengumumkan kenaikan suku bunga untuk pertama kalinya sepanjang pandemi. Suku bunga BOE dinaikkan dari saat ini 0,1% menjadi 0,25%. Dengan demikian, BOE menjadi bank sentral besar pertama bank dunia yang mulai menormalisasi suku bunganya.