Kementerian Keuangan memperkirakan realisasi belanja daerah hingga akhir tahun lalu hanya mencapai Rp 1.005,24 triliun atau 82% dari tagu Rp 1.224,73 triliun. Realisasi belanja Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2021 ini lebih rendah dibandingkan APBD 2020 yang mencapai Rp 1.115,28 triliun.
Berdasarkan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN pada awal pekan ini, realisasi belanja daerah ini masih menggunakan data sementara per 30 Desember 2021. Dalam perhitungan ini, sebagian Pemda masih menggunakan data November 2021.
Meski demikian, Kementerian Keuangan memperkirakan, realisasi belanja daerah hingga akhir tahun lalu hanya akan mencapai 92% dari pagu atau Rp 1.126 triliun. Perkiraan ini menilik trend data historis. Dengan demikian, akan ada anggaran Rp 98 triliun yang tak terserap.
Realisasi belanja paling anjlok tercatat pada komponen belanja perlindungan sosial yang turun 30,8% dari Rp 13,64 triliun pada 2020 menjadi Rp 9,44 triliun. Penurunan belanja juga terjadi untuk bidang pendidikan sebesar 8,3% dari Rp 321,8 triliun menjadi Rp 295 triliun.
“Serapan terbesar belanja pendidikan ada pada belanja pegawai untuk gaji guru dan tenaga pendidik,” demikian tertulis dalam paparan Sri Mulyani awal pekan ini.
Sementara itu, belanja kesehatan naik 5,9% dari Rp 176,01 triliun menjadi Rp 186,42 triliun. Namun demikian, Kementerian Keuangan menekankan bahwa Pemda harus mempercepat penggunaan anggaran Covid-19 untuk dukungan vaksin dan insentif tenaga kesehatan.
Berdasarkan jenis belanjanya, sebagian besar APBD digunakan untuk belanja pegawai yang mencapai Rp 350,1 triliun atau 34,8% dari total belanja. Namun, realisasi tersebut turun dibandingkan tahun 2020 yang mencapai Rp 371,22 triliun.
Belanja terbesar kedua dialokasikan untuk barang dan jasa yang mencapai Rp 292,39 triliun atau mengambil porsi 39,1% dari total belanja daerah. Realisasi ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar Rp 273, 44 triliun.
Sementara itu, belanja modal terealisasi Rp 126,88 triliun, lebih rendah dibandingkan 2020 sebesar Rp 156,67 triliun. Demikian pula dengan belanja lainnya yang mencapai Rp 235,77 triliun, lebih rendah dibandingkan 2020 sebesar Rp 314,04 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga Oktober lalu bahkansurplus mencapai Rp 111,5 triliun. Sri Mulyani mengatakan surplus tersebut muncul karena masih banyak daerah yang menahan belanjanya.
Ia menjelaskan, pendapatan daerah hingga Oktober mencapai Rp 841,6 triliun, lebih tinggi dibandingkan belanja daerah sebesar Rp 730,1 trilun. Surplus APBD sebesar Rp 111,5 triliun setara 15,27% terhadap total belanja daerah. "Pemerintah pusat sedang berusaha mendorong pemulihan ekonomi dengan countercyclical melalui defsit anggaran, tetapi daerah justru menahan belanja sehingga terjadi surplus," kata Sri Mulyani dalam Kongres Tahunan Asosiasi Auditor Interern Pemerintah Indonesia (AAIPI), Selasa (23/11).
Ia menjelaskan, surplus anggaran yang besar di daerah menyebabkan efektivitas dorongan kebijakan belanja pemerintah pusat dan daerah untuk pandemi menjadi tidak sinkron. "Kami perlu melihat dampak belum optimalnya atau sinkronnya APBN dan APBD. Ini pasti akan mengurangi daya pemulihan ekonomi kita dan upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan ekonomi," kata Sri Mulyani.