APBD Surplus Rp 111 T, Sri Mulyani Kesal Banyak Daerah Tahan Belanja
Kementerian Keuangan mencatat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) surplus mencapai Rp 111,5 triliun hingga Oktober 2021. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan surplus tersebut muncul karena masih banyak daerah yang menahan belanjanya.
Ia menjelaskan, pendapatan daerah hingga bulan lalu mencapai Rp 841,6 triliun, lebih tinggi dibandingkan belanja daerah sebesar Rp 730,1 trilun. Surplus APBD sebesar Rp 111,5 triliun setara 15,27% terhadap total belanja daerah.
"Pemerintah pusat sedang berusaha mendorong pemulihan ekonomi dengan countercyclical melalui defsit yang mencapai Rp 548 triliun, tetapi daerah justru menahan belanja sehingga terjadi surplus," kata Sri Mulyani dalam Kongres Tahunan Asosiasi Auditor Interern Pemerintah Indonesia (AAIPI), Selasa (23/11).
Berdasarkan bahan paparannya, terdapat 493 daerah yang mencatat surplus APBD. Surplus terjadi di 30 provinsi, 375 kabupaten dan 88 kota. Berdasarkan provinsi, surplus tertinggi berada di Jawa Timur sebesar Rp 18,59 triliun, sedangkan terendah di Maluku Utara Rp 597,71 miliar.
Meski demikian, terdapat empat provinsi yang mencatat defisit anggaran. Sumatera Barat mencatat defisit APBD tertinggi yakni Rp 19,8 triliun, sedangkan Bali mencatatkan defisit terendah Rp 128,66 miliar.
Ia menjelaskan, surplus anggaran yang besar di daerah menyebabkan efektivitas dorongan kebijakan belanja pemerintah pusat dan daerah untuk pandemi menjadi tidak sinkron. "Kami perlu melihat dampak belum optimalnya atau sinkronnya APBN dan APBD. Ini pasti akan mengurangi daya pemulihan ekonomi kita dan upaya untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan ekonomi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani melaporkan, belanja daerah hingga Oktober 2021 sebenarnya naik 3,51% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, persentase terhadap pagu masih sangat kecil yakni hanya 59,62% dari Rp 1.224,7 triliun.
Ia menyoroti minimnya realisasi belanja daerah mendekati pengujung tahun. Dengan sisa waktu dua bulan, pemerintah daerah masih punya anggaran Rp 494,6 triliun yang harus dihabiskan jika ingin mencapai realisasi 100% sampai akhir tahun.
"Kalau dilihat di berbagai daerah mereka rata-rata berbelanja hanya di sekitar 50%, paling tingi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta di atas 66%, namun ada daerah seperti Maluku yang belanjanya baru 39%," kata Sri Mulyani.
Berdasarkan jenis belanjanya, mayoritas belanja daerah digunakan untuk membayar para pegawai yang mencapai Rp 297,37 triliun. Belanja modal terealisasi Rp 67,64 triliun, belanja barang dan jasa Rp 198,3 triliun, dan belanja lainnya Rp 166,82 triliun.
Lambannya belanja daerah bukan hanya untuk kebutuhan umum, tetapi juga pada belanja di bidang kesehatan dan perlindungan sosial yang berkaitan dengan penanganan pandemi. Realisasinya baru mencapai Rp 32,1 triliun atau 58,51% dari pagu.
Pemerintah daerah sebelimnya diminta menyediakan anggaran daerahnya untuk kebutuhan penanganan pandemi yang totalnya Rp 54,8 triliun. Ini bersumber dari hasil earmark 8% DAU/DBH, penyaluran DID, penyaluran dana desa, serta penyaluran BOK untuk Covid-19.
"Kita tentu harus menjaga tidak boleh ada korupsi tapi bukan berarti kita tidak berani belanja, ini nasihat yang harus terus diberikan dan diempower kepada K/L dan daerah," kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, Sri Mulyani melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode yang sama defisit Rp 548,9 triliun. Nilai ini setara 3,29% terhadap Produk Domestik Bruto.
Defisit didorong oleh belanja negara yang lebih besar dibandingkan pendapatan negara. Meski demikian, pendapatan yang tumbuh lebih kuat mendorong defsiti masih jauh dari target tahun ini.
Pendapatan negara hingga bulan lalu tumbuh 18,2% menjadi Rp 1.510 triliun, sedangkan realisasi belanja negara hannya tumbuh 0,8% menjadi Rp 2.058,9 triliun.