Bank Indonesia (BI) memborong ratusan triliun surat utang pemerintah selama dua tahun terakhir. Meski mendapat teguran Dana Moneter Internasional atau IMF, langkah BI berperan signifikan dalam membantu penanganan pandemi.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan kerja sama pemerintah dengan BI melalui tiga Surat Keputusan Bersama (SKB). Kerja sama itu pun sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dia menyebut terdapat dua keuntungan dari kerja sama tersebut. Pertama, menekan beban bunga utang. "Bentuk dukungan BI ada beberapa skemanya bahwa beban bunganya ditanggung BI, tentu saja beban bunga kita menurun," kata Luky saat hadir dalam podcast Endgame milik Gita Wirjawan dikutip Kamis (3/1).
Kedua, pembelian SBN oleh bank sentral juga membantu menjaga volatilitas yield obligasi pemerintah. Kehadiran BI mendorong supply SBN ke pasar bisa dikurangi, dikarenakan melalui kerja sama tersebut BI juga bertindak sebagai stand by buyer.
Kepemilikan BI atas SBN membengkak terutama dalam dua tahun terakhir. Pada akhir 2019 atau sebelum pandemi kepemilikan BI hanya 9,93%. Pada akhir tahun 2021, BI memegang 23,52% dari obligasi pemerintah.
BI merupakan pembeli SBN terbanyak kedua di bawah perbankan. Bahkan kepemilikan BI melampaui SBN yang dipegang investor asing sebesat 19,75%.
"Secara tidak langsungnya pun dengan adanya BI di sana, kita juga bisa menjaga yield supaya nggak terbang. Kalau yield di negara lain penambahanya sudah lebih tinggi dari kita," kata dia.
Apalagi, dengan adanya rencana The Fed memperketat moneter bisa menjadi sentimen yang mengerek kenaikan yield SBN pada tahun ini. Meskipun sepanjang awal tahun ini kenaikan yield SBN tidak signifikan dibandingkan yield US Treasury karena tertolong oleh fundamental ekonomi domestik yang baik.
Dengan risiko pengetatan moneter The Fed tersebut, Luky mengatakan pemerintah juga telah mengantisipasi dengan mematok target yield SBN dalam asumsi makro tahun ini di kisaran 6,8%. Realisasi yield SBN pada akhir tahun lalu di kisaran 6,35%.
"Untungnya dari segi pembiayaan, kami masih ada kerjasama dengan BI yang berlangsung sampai tahun 2022. Bukan kita memanfaatkan BI untuk menjaga yield, yang kita mau dari kerja sama dengan BI itu agar yield tidak terlalu volatile," kata Luky.
Dalam laporan tahunannya, Bank Indonesia diketahui telah memborong SBN sebanyak Rp 831,74 triliun selama dua tahun terakhir. Pada 2020, BI membeli Rp 473,42 triliun meliputi pembelian di pasar perdana dalam rangka SKB I Rp 75,86 triliun. Pembelian langsung sebagai mekanisme pembagian beban alias burden sharing sesuai SKB II Rp 397,56 triliun.
Pada 2021 mulai dikurangi menjadi sebesar Rp 358,32 triliun. Pembelian tahun lalu meliputi pembelian di pasar perdana dalam rangka SKB I Rp 143,32 triliun dan melalui private placement sebagai implementasi dari SKB III Rp 215 triliun.
Tahun ini, BI masih akan melanjutkan pembelian di pasar perdana sebagaimana SKB I yang sudah diperpanjang sampai akhir Desember 2022. Selain itu, BI masih memiliki SKB III dengan rencana pembelian Rp 224 triliun melalui private placement. Dari pembelian SKB III tersebut, terdapat Rp 40 triliun yang dilakukan melalui burden sharing dimana pemerintah tidak dikenakan bunga atas utang tersebut.
BI berulang kali menjelaskan bahkan pembelian besar-besaran tersebut dalam rangka membantu menangani pandemi Covid-19. Kendati demikian, dalam Article IV yang dirilis pekan lalu, IMF memperingatkan agar pembelian SBN oleh BI di pasar perdana tahun ini perlu dikurangi.
Dalam laporan terpisah, IMF dalam sebuah blognya awal bulan lalu merekomendasikan bank sentral negara berkembang yang aktif memborong surat utang pemerintah untuk beralih kepada pembelian di pasar sekunder. Pembelian langsung di pasar primer menurut IMF memberikan keleluasan bagi pemerintah untuk menentukan ukuran neraca bank sentral dan tingkat bunga yang akan dibayarkan. Hal ini cenderung melemahkan disiplin fiskal dan meningkatkan risiko monetisasi utang.
Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani berulang kali menegaskan bahwa adanya kerja sama pembelian SBN tersebut tidak akan mengganggu independensi bank sentral.