Bank Dunia Peringatkan Bahaya Utang Korporasi RI saat Bunga Fed Naik

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Karyawan menghitung uang pecahan Rp100 ribu dari setoran nasabah di Bank Bukopin Syariah, Jakarta, Kamis (11/2/2021). Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS) menyatakan kinerja sektor perbankan stabil di tengah pandemi COVID-19, dilhat dari likuiditas perbankan nasional yang masih terjaga baik dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) berada di level 82,24 persen pada Desember 2020.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Maesaroh
16/2/2022, 17.28 WIB

Normalisasi moneter di sejumlah negara maju termasuk Amerika Serikat ikut memberi efek limpahan alias spill over ke Indonesia. Sekalipun dampaknya diramal lebih ringan dibandingkan taper tantrum 2013, namun Bank Dunia tetap memperingatkan  sejumlah risiko termasuk dari sisi beban utang korporasi di Indonesia.

Bank Dunia menjelaskan ada beberapa risiko yang bisa muncul terutama yang ditimbulkan oleh risiko kredit bermasalah (NPL) Indonesia yang meningkat selama pandemi. Upaya restrukturisasi kredit untuk sektor usaha dan sektor keuangan dapat menutupi tingkat NPL yang sebenarnya terjadi.

"Penarikan stimulus (moneter) di negara-negara maju juga akan meningkatkan risiko bagi perusahaan dengan leverage tinggi yang terkena risiko nilai tukar dan 'risiko rollover', yakni risiko dimana sebuah perusahaan tidak dapat melakukan refinance utang jangka pendek dengan tingkat bunga yang lebih tinggi," tulis Bank Dunia dalam laporan World Development Report 2022 dikutip Rabu (16/2).

 Bank Dunia juga melihat risiko gangguan pada utang korporasi  di semua jenis korporasi tidak terkecuali bagi perusahaan pelat merah atau BUMN.

"Dan ini meningkatkan risiko kewajiban kontinjensi bagi pemerintah," ujar Bank Dunia.

Bukan hanya itu, efek dari kenaikan bunga acuan The Fed secara khusus juga dapat menimbulkan dilema bagi bank sentral negara berkembang seperti Bank Indonesia (BI).

Di satu sisi, jika BI tidak ikut menaikan bunga acuan saat The Fed mengerek bunganya, maka arus modal keluar akan menyeret depresiasi rupiah. Di sisi lain, jika bunga acuan BI dinaikkan, resikonya terhadap peningkatan insolvensi yang mengganggu proses pemulihan.

 Belum lagi, tekanan untuk BI menormalisasi kebijakannya moneternya berdekatan dengan rencana pemerintah untuk mulai menarik sejumlah kebijakan fiskalnya.

Pemerintah harus kembali menetapkane defisit anggaran maksimal 3% dari PDB pada tahun depan sebagaimana aturan yang ada.

"Hal itu harus dilakukan dengan hati-hati, karena kombinasi pengetatan fiskal dan moneter secara bersamaan berisiko bagi pemulihan. Waktu penarikan stimulus sangat penting dan harus didasarkan pada perkembangan ekonomi," kata Bank Dunia.

Meski demikian, Bank Dunia memang melihat kerentanan dari normalisasi moneter The Fed dan bank sentral negara maju lainnya saat ini tidak akan segawat taper tantrum 2013.

Alasannya karena Indonesia sendiri sudah lebih dulu mengalami arus modal keluar secara besar-besaran pada awal pandemi, sehingga tidak terlalu rentan jika arus modal keluar kembali terjadi.

 Jika mengacu pada data Kementerian Keuangan sampai akhir tahun lalu, porsi asing di surat utang pemerintah juga terus menyusut mendekati 19%. Padahal, sebelumnya, porsi asing ada di kisaran 30%.

Kepemilikan asing menyusut signifikan selama dua tahun pandemi, sebagai gantinya kini didominasi oleh investor domestik terutama perbankan dan bank sentral.

"Selain itu, krisis menyebabkan penurunan dalam produksi dan investasi. Karena lebih dari 90% impor Indonesia terdiri dari bahan mentah dan barang modal, impor turun tajam, mengakibatkan defisit transaksi berjalan yang jauh lebih kecil daripada tahun 2012-2013," kata Bank Dunia.

Badan Pusat Statistik (BPS) memang mencatat neraca perdagangan RI sudah mencetak surplus selama 21 bulan beruntun.

Bahkan pada paruh kedua tahun lalu, neraca dagang sempat mencetak rekor surplus tertinggi sepanjang sejarah berkat lonjakan pada nilai ekspor RI.

Dari asesmen BI sendiri juga berulang kali menegaskan bahwa risiko dari normalisasi moneter Amerika terhadap pasar keuangan negara emerging seperti Indonesia tidak akan sesignifikan 2013.

Alasannya karena komunikasi The Fed sudah sangat jelas sehingga bisa ditangkap dengan baik oleh pasar. Selain itu, sejumlah negara emerging juga sudah memiliki kesiapan dari sisi kerangka kebijakan, serta didukung pendalaman pasar keuangan.

"Alasan-alasan itu yang membuat kenapa saya yakin bahwa negara emerging sudah lebih baik dalam mengantisipasi proses normalisasi tersebut," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam webinar side event finance track G20 secara daring, Rabu (16/2).

Reporter: Abdul Azis Said