Perang Rusia dan Ukraina mendorong harga minyak dunia melonjak dan menembus level US$ 130 per barel, dua kali lipat dari harga yang dipatok pemerintah dalam APBN 2022 sebesar US$ 63 per barel. Lonjakan harga minyak akan berdampak pada penerimaan sekaligus belanja pemerintah.
Berdasarkan data Bloomberg Senin (7/3) pukul 12.09 WIB, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman April 2022 naik 10,41% dan berada di level US$ 130,41 per barel, sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman maret 2022 naik 8,71% dan berada di level US$ 125,76 per barel.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, kenaikan harga minyak berdampak pada dua sisi APBN yakni penerimaan dan belanja. Kenaikan harga minyak akan meningkatan penerimaan pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang terkait dengan minyak. "Saya rasa porsi pendapatan minyak besar sekali," ujar Faisal kepada Katadata.co.id, Senin (7/3).
Di sisi lain, menurut dia, kenaikan harga minyak akan berdampak pada subsidi energi. Menurut dia, sebagian BBM yang dijual di dalam negeri masih disubsidi. Adapun jika pemerintah menyesuaikan harga BBM dengan harga minyak dunia, ia khawatir akan terjadi lonjakan inflasi yang dapat mempengaruhi ekonomi.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira memperkirakan, kenaikan harga minyak dari US$ 63 per barel dalam asumsi APBN menjadi US$ 100 per barel berpotensi meningkatkan pendapatan negara mencapai Rp 111 triliun pada tahun ini. Hal ini karena kenaikan harga minyak juga berdampak pada lonjakan harga komoditas andalan Indonesia seperti batu bara dan minyak sawit yang ikut mendorong penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun PNBP.
"Di samping itu, yang menjadi urgent adalah bagaimana strategi pemerintah agar kenaikan harga minyak tidak berdampak pada lonjakan inflasi di dalam negeri, sehingga subsidi energi perlu ditambah," ujarnya.
Oleh karena itu, ia menilai perubahan dalam APBN bersifat mendesak. Pemerintah perlu menyusun kembali ausmsi makro dan pos belanja subsidi lainnya, seperti energi dan bansos untuk memitigasi dampak kenaikan harga komoditas.
"Jika krisis Rusia dan Ukriana berkelanjutan, tentu harus ada buffer untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga dan penurunan daya beli masyarakat, melalui revisi subsidi energi dan bansos. Perangkat stimulus untuk dunia usaha yang harus disiapkan," ujarnya.
Ia memperkirakan, kenaikan harga BBM akan membuat kebutuhan subsidi energi membengkak naik dari Rp 134 triliun menjadi Rp 180 triliun hingga Rp 200 triliun. "Hampir bisa dipastikan subsidi energi akan melampaui nilai pagu dalam APBN karena realisasi subsidi energi di januari sudah naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu," kata Bhima.
Meski demikian, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto belum dapat memastikan rencana penambahan anggaran subsidi energi untuk tahun ini. "Ini kan baru bulan Maret. Saya kira, subsidi ini belum habis diserap. Kami berharap ini berakhir dengan anggaran yang sudah diketok pemerintah dan DPR bisa mencukupi," ujarnya dalam Energy Corner, Senin (7/3).
Meski demikian, menurut dia, pemerintah akan mengevaliasi anggaran subsidi energi jika perang antara Rusia dan Ukraina terus berlanjut. Perang antara kedua negara menjadi biang keladi lonjakan harga minyak dunia. "Ini tergantung situasi seperti apa. Saat ini, anggaran masih tersedia, tetapi April, Mei, dan selanjutnya kami harus melihat kembali," katanya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mewaspadai harga minyak yang terus menanjak ke level US$ 100 per barel. Kenaikan harga minyak akan berdampak pada beban subsidi energi yang harus dibayarkan pemerintah.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan kenaikan harga minyak akan berdampak pada penerimaan negara. Namun di sisi lain, kenaikan harga minyak juga berdampak pada pengeluaran negara dalam bentuk subsidi.
"Kalau sudah mendekati US$ 100 per barel, perlu hati-hati. Dari segi penerimaan memang bertambah, tetapi dampak ke subsidi BBM dan LPG juga sangat besar," ujarnya.
Tutuka belum dapat memastikan berapa biaya yang akan ditanggung pemerintah jika harga minyak dunia tembus ke level US$ 100 per barel. Namun, Kementerian ESDM bersama dengan Kementerian Keuangan tengah menghitung dampak dari kenaikan harga minyak dunia bagi keuangan negara.
"Kami sudah estimasi dengan Kemenkeu agar lebih pasti. Harus teliti dan cermat dengan subsidi ini karena kenaikan ICP ini bisa tidak mencukupi dari subsidi. Angkanya harus kita hitung lebih detail," ujarnya.