Dampak Perang Rusia-Ukraina, Surplus Perdagangan RI Bisa Capai Rp 47 T
Perang antara Rusia dan Ukraina bisa berdampak kepada perekonomian Indonesia. Surplus neraca perdagangan Februari 2022 diprediksi lebih besar dibandingkan bulan sebelumnya karena ditopang kenaikan harga komoditas sebagai imbas konflik kedua negara tersebut.
Perkiraannya, surplus neraca perdagangan bulan lalu bisa berada mencapai US$ 3,29 miliar atau setara Rp 47,1 triliun. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan perdagangan RI akan mencatat surplus US$ 1,7 miliar atau setara Rp 24,3 triliun.
Ekspor diperkirakan tumbuh 37,1% secara year-on-year (YOY), lebih tinggi dibandingkan 25,31% pada bulan sebelumnya. Sementara impor tumbuh lebih tinggi sebesar 44,9% secara YOY, juga di atas realisasi bulan sebelumnya 36,77%.
Peningkatan dari sisi ekspor didorong kenaikan harga komoditas sebagai imbas perang Rusia dan Ukraina. "Ekspor sejak akhir Februari makin kuat terutama karena kenaikan harga komoditas. Pendorongnya masih batu bara, CPO dan mineral," kata David kepada Katadata.co.id, Senin (14/3).
Dari sisi impor, kenaikan terutama dipengaruhi periode musiman, terutama untuk impor bahan baku dan barang konsumsi menjelang bulan Ramadan dan lebaran.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan surplus Februari bisa mencapai US$ 3,29 miliar, naik 254% dibandingkan bulan sebelumnya. Ekspor diperkirakan tumbuh hingga 43,09% secara tahunan.
"Surplus neraca dagang Februari naik signifikan di tengah pencabutan larangan ekspor batu bara. Harga komoditas utama juga melonjak akibat eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina," kata Faisal dalam risetnya.
Faktor pendorong perbaikan ekspor selain karena kenaikan harga komoditas dan pembukaan ekspor batu bara, juga ditopang membaiknya permintaan dari Cina seiring dengan kembalinya PMI manufaktur ke zona ekspansi, dan peningkatan Baltic Dry Index.
Berbeda dengan David, Faisal memperkirakan impor tumbuh lebih rendah dibandingkan ekspor yakni 39,74% secara tahunan. Impor Februari diperkirakan masih tumbuh kuat dibandingkan bulan sebelumnya karena PPKM hanya sedikit menurunkan mobilitas publik. Selain itu, PMI manufaktur juga tetap berada di wilayah ekspansi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan surplus neraca dagang mencapai US$ 3,1 miliar. Seperti dua ekonom sebelumnya, ia memperkirakan peningkatan neraca dagang bulan Februari terutama karena peningkatan nilai ekspor berkat kenaikan harga komoditas.
Josua memprediksi ekspor tumbuh 40,04% secara year non year. Sedangkan impor diperkirakan tumbuh 37,3%, didorong oleh peningkatan impor migas akibat kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar 11,47% di bulan Februari.
"Di sisi lain, pertumbuhan impor cenderung terbatasi oleh penurunan laju aktivitas manufaktur Indonesia, terlihat dari PMI Manufacturing yang turun menjadi 51,2 dari sebelumnya 53,7." ujarnya kepada Katadata.co.id.
Adapun surplus neraca dagang pada Januari 2020 tercatat sebesar US$ 930 juta. Realisasi ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya US$ 1,01 miliar maupun dibandingkan Januari 2020 sebesar US$ 1,96 miliar.
Nilai ekspor bulan Januari sebesar US$ 19,16% atau naik 25,31% dari periode yang sama tahun lalu. Tetapi impor tumbuh lebih tinggi yakni 36,77% secara year on year menjadi US$ 18,23 miliar.