Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan ekspor Indonesia pada Februari 2020 mencapai US$ 20,46 miliar, naik 6,73% dibandingkan bulan sebelumnya atau melonjak 34,14% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ekspor terutama ditopang oleh melambungnya harga sejumlah komoditas utama Indonesia.
Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan, ekspor minyak dan gas pada bulan lalu 10,39% secara bulanan atau 15,6% secara tahunan menjadi US$ 0,99 miliar.. Sementara ekspor nonmigas naik 6,55% secara tahunan atau 35,24% secara tahunan menjadi US$ 19,47 miliar.
"Selama Januari-Februari terlihat bahwa secara total maupun hanya nonmigas, kondisi ekspor Indonesia tahun ini lebih baik dibandingkan tahun lalu. Semoga tren positif ini berlanjut di masa mendatang agar target pemulihan ekonomi tercapai," ujar Margo dalam konferensi pers, Selasa (15/3).
Ia menjelaskan, kenaikan ekspor nonmigas pada bulan lalu terutama didorong oleh ekspor pertambangan dan lainnya yang melonjak 65,82% dibandingkan bulan sebelumnya atau 84.61% dibandingkan periode yang sama tahun lalu mencapai US$ 65,82 miliar.
"Ekspor sektor pertambangan ini terutama didorong oleh ekspor batu bara yang naik 75,4% secara tahunan dan biji tembaga naik 319,95%," katanya.
Sementara ekspor industri pengolahan dan pertanian, kehutanan, dan perikanan mencatatkan penurunan secara bulanan masing-masing -1,23% dan -10,16%. Namun, ekspor industri pengolahan masih naik 10,36% secara tahunan menjadi US$ 0,34 miliar, sedangkan industri pertanian, kehutanan, dan perikanan naik 27,95% menjadi US$ 15,53 miliar.
Kinerja sektor pertambangan dan migas yang tumbuh tinggi terutama didorong oleh kenaikan harga komoditas. Harga minyak Indonesia (ICP) naik dari US$ 85,89 per barel menjadi US$ 95,72 per barel pada Februari. Kenaikan juga terjadi pada beberapa harga komoditas nonmigas secara bulanan. Harga batu bara naik 16,5%, minyak kelapa sawit 13,2%, minyak kernel 11,24%.
"Alumunium, nikel, emas, tembaga, dan karet juga mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga komoditas ini berpengaruh terhadap ekspor," ujarnya.
Ia menjelaskan, lima komoditas yang mengalami kenaikan ekspor tertinggi secara bulanan berdasarkan kode hs dua digit, yakni bahan bakar mineral US 1,76 miliar, logam mulia perhiasan US$ 364,9 juta, timah dan barang daripadanya US$ 241,4 juta nikel dan barang daripadanya US$ 67,9 juta, danberbagai produk kimia US$ 34,5 juta.
"Peningkatan ekspor bahan bakar mineral, terutama untuk tujuan ke India, Cina dan Jepang," ujarnya.
Sementara penurunan terjadi pada ekspor besi dan baja US$ 372,9 juta, bijih logam, terak dan abu US$ 289,8 juta, karet dan barang dari karet US$ 99,7 juta, ikan, krustasea dan moluskan US$ 70,1 juta, serta pakaian dan askesorinya bukan rajutan US$ 65,9 juta USD.
"Penurunan tertinggi yakni pada komoditas besi dan baja dengan negara tujuan Cina, Vietnam dan India," katanya,
BPS juga mencatat kenaikan ekspor terutama terjadi untuk tujuan India sebesar US$ 394,4 juta, Swiss US$ 351 juta, dan Korsel US$ 220,8 juta, Cina US$ 208,4 juta, dan Jepang US$ 193,1 juta.
"Sementara penurunan tertinggi terjadi untuk tujuan Amerika Serikat US$ 171,7 juta, Mesir US$ 58,8 juta, Italia US$ 49,4 juta, Afrika Selatan US$ 47,5 juta, dan Jerman US$ 44,6 juta," katanya.
Meski demikian, ekspor Indonesia ke Cina masih memiliki pangsa terbesar mencapai 19,12%, disusul Amerika Serikat 12,29%, dan Jepang 8,76%.
Secra total, ekspor Janauri-Februari 2022 mencapai US$ 39,64 miliar, naik 29,75% dibandingkan periode yang sama tahun 2021. Sedangkan khusus ekspor nonmigasnya pada dua bulan pertama tahun ini naik 31,02% menjadi US$ 37,74 miliar.