ADB Pertahankan Prospek Ekonomi Indonesia Tahun Ini, Ditopang 2 Sektor

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di Jalan Layang Non Tol (JLNT) Kampung Melayu-Tanah Abang di kawasan Casablanca, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021, di tengah perang Rusia dan Ukraina.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
6/4/2022, 11.26 WIB

Bank Pembangunan Asia (ADB) mempertahankan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 5%. Pemulihan ekonomi Indonesia tahun ini akan ditopang oleh konsumsi dan investasi di tengah risiko dari perang Rusia dan Ukraina.

ADB mengatakan, perekonomian Indonesia tahun ini memasuki prospek yang baik sejalan dengan pelonggaran pembatasan mobilitas  sejak kuartal ketiga tahun lalu. Ini tercermin dari sejumlah indikator perekonomian, mulai dari PMI manufaktur yang bertahan di zona ekspanasi, serta kepercayaan konsumen dan penjualan ritel yang kuat.

"Meskipun proyeksi pertumbuhan dipangkas pada Januari untuk dua mitra dagang utama Indonesia yakni Cina dan Amerika Serikat, konsumsi swasta dan investasi tampaknya memiliki momentum yang cukup untuk menggantikan ekspor sebagai pendorong utama pertumbuhan Indonesia," kata ADB dalam laporannya.

ADB memperkirakan konsumsi akan kembali ke level sebelum pandemi pada tahun ini dengan pertumbuhan 5%. Permintaan yang makin kuat akan dirangsang oleh normalisasi lebih lanjut dari kegiatan ekonomi, peningkatan serapan tenaga kerja dan pendapatan, serta dampak dari booming harga komoditas. 

Menurut ADB, meningkatnya konsumsi akan ditopang oleh insentif pajak untuk pembelian mobil dan rumah yang diperpanjang sampai dengan Juni, sekalipun diskonnya kini diperkecil. Selain itu, digitalisasi layanan, khususnya di bidang perdagangan dan keuangan akan mendukung konsumsi masyarakat di tengah masih adanya Covid-19.

Sementara itu, investasi diperkirakan tumbuh 6% pada tahun ini. Bisnis akan membangun kembali kapasitas produksi dan mengisi kembali persediaan sebagai tanggapan terhadap pemulihan permintaan dan peningkatan iklim bisnis dan investasi.

Meski demikian, ADB juga melihat, pemulihan ekonomi Indonesia tahun ini akan menghadapi dua ancaman. "Satu dari internal dan yang lain dari eksternal. Pada Pada bulan Januari, varian Omicron memicu gelombang ketiga infeksi Covid-19, sementara pada bulan Februari, invasi Rusia ke Ukraina dimulai," kata ADB.

ADB melihat dampak dari gelombang ketiga Covid-19 seharusnya terbatas ke pertumbuhan ekonomi tahun ini. Ini karena Omicron memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan varian laindan layanan kesehatan saat ini mumpuni merespons kenaikan kasus. Dengan demikian, pembatasan mobilitas tidak begitu ketat dan aktivitas ekonomi tidak terganggu secara signifikan.

Lembaga ini juga melihat dampak dari perang Rusia dan Ukraina masih terbatas terhadap ekonomi Indonesia. Meski demikian, resikonya bisa signifikan jika perang berkepanjangan. Jika itu terjadi, perang akan semakin membatasi permintaan global, memangkas pertumbuhan ekspor dan inflasi meningkat.

Perang yang mengerek kenaikan harga komoditas diperkirakan juga mendorong kenaikan inflasi domestik meski diperkirakan masih dalam rentang target bank sentral di 2%-4%. ADB memperkirakan inflasi berada di rata-rata 3,6% tahun ini, dengan inflasi rata-rata berada di 2,1% pada kuartal pertama ini. 

Proyeksi ADB untuk 2023

ADB memperkirakan kegiatan ekonomi diperkirakan akan berlangsung normal pada tahun 2023. Namun, perkiraan ini dibuat dengan asumsi bahwa dampak ekonomi global dari invasi Rusia ke Ukraina tidak akan parah. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi menjadi 5,2%. Pertumbuhan konsumsi swasta diperkirakan sebesar 5% tahun depan dan pertumbuhan investasi sebesar 7%.

Pertumbuhan ekspor dan impor akan semakin menurun, ke proyeksi 6%–8%. Pariwisata tahun depan kemungkinan akan berada di sekitar 70% dari tingkat pra-pandemi. Transaksi berjalan diproyeksikan defisti tetapi masih modest.  Sementara, inflasi diperkirakan berangsur turun menjadi 3% pada tahun depan.

ADB memperkirakan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi akibat perang pada tahun ini akan menciptakan potensi upside ke perekonomian pada tahun depan. "Seiring dengan mulai dirasakannya manfaat reformasi di bidang ekonomi melalui iklim bisnis dan investasi yang lebih baik, peningkatan infrastruktur publik, serta peningkatan fisik dan sumber daya manusia swasta," kata ADB.

 

Reporter: Abdul Azis Said