UNDP: 71 Juta Warga Negara Berkembang Jatuh Miskin Hanya dalam 3 Bulan

ANTARA FOTO/REUTERS/Dinuka Liyanawatte/RWA/dj
Krisis pangan antara lain terjadi di Sri Lanka yang mengalami kesulitan ekonomi akibat habisnya cadangan devisa.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
8/7/2022, 11.10 WIB

Program Pembangunan PBB (UNDP) menyebut kenaikan inflasi global telah mendorong peningkatan jumlah orang miskin di negara-negara berkembang mencapai 71 juta orang hanya dalam tiga bulan sejak Maret 2022. Kenaikan inflasi yang direspons pengetatan moneter berpotensi memperburuk keadaan.

"Lonjakan harga membuat banyak orang di seluruh dunia yang mampu beli makanan kemarin tidak lagi memiliki kemampuan yang sama hari ini,” kata Administrator UNDP Achim Steiner dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/7).

UNDP menyebut, kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi yang kini banyak dilakukan bank-bank sentra seluruh dunia dapat memicu resesi ekonomi. Kekhawatiran ini yang belakangan berkembang di negara-negara maju, seperti AS hingga Jepang. Resesi ekonomi dapat meningkatkan dan memperdalam kemiskinan di seluruh dunia. 

Analisis UNDP terhadap 159 negara berkembang secara global menunjukkan bahwa lonjakan harga komoditas utama sudah memiliki dampak langsung dan menghancurkan rumah tangga termiskin. Tekanan ini terutama paling terlihat di negara-negara Balkan, negara di wilayah Laut Kaspia, dan Afrika Sub-Shara khususnya wilayah Sahel.

Negara-negara yang menghadapi dampak paling drastis adalah Armenia dan Uzbekistan di Asia Tengah. Di kawasan Afrika Sub-Sahara, kondisi yang buruk terjadi di Burkina Faso, Ghana, Kenya, Rwanda, dan Sudan. Negara lainnya yang mengalami kondisi tak jauh berbeda adalah Haiti di Amerika Latin, Pakistan dan Sri Lanka di Asia Selatan serta Ethiopia, Mali, Nigeria, Sierra Leone, Tanzania, dan Yaman.

Negara-negara berkembang akan kesulitan mengatasi masalah ini tanpa adanya dukungan dari komunitas global. Negara-negara tersebut memiliki cadangan fiskal yang menipis dan tingkat utang negara yang tinggi di tengah kenaikan suku bunga di pasar keuangan global.

"Kami menyaksikan perbedaan yang mengkhawatirkan dalam ekonomi global karena seluruh negara berkembang menghadapi ancaman tertinggal ketika mereka berjuang untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang berkelanjutan, mengatasi tingkat utang, dan sekarang krisis pangan dan energi yang semakin cepat”, kata Steiner.

Negara-negara telah mencoba untuk mengurangi dampak terburuk dari krisis saat ini dengan menggunakan pembatasan perdagangan, potongan pajak, subsidi energi, dan bantuan. Namun, UNDP menyebut bantuan tunai yang ditargetkan akan lebih adil dan hemat biaya daripada subsidi menyeluruh.

“Subsidi energi menyeluruh dapat membantu dalam jangka pendek, tetapi  mendorong ketidaksetaraan dalam jangka panjang, memperburuk krisis iklim, dan tidak melunakkan pukulan langsung dari kenaikan biaya hidup seperti halnya bantuan tunai yang ditargetkan,” kata Kepala Keterlibatan Kebijakan Strategis UNDP George Gray Molina.

Laporan UNDP menunjukkan bahwa subsidi energi secara tidak proporsional menguntungkan orang-orang kaya, dengan lebih dari setengah manfaat subsidi energi universal menguntungkan 20% populasi terkaya. Sebaliknya, bantuan tunai sebagian besar diberikan kepada 40% penduduk termiskin.

Molina menyebut, skema bantuan tunai yang sangat sederhana sekalipun dapat memiliki efek dramatis dan menstabilkan bagi yang termiskin dan paling rentan saat menghadapi krisis. Bantuan uang tunai akan berdampak positif bagi kelompok masyarakat yang rentan akibat kenaikan harga pangan dan energi.

Reporter: Abdul Azis Said