ADB Laporkan 4,7 Juta Orang ASEAN Masuk Jurang Kemiskinan Tahun Lalu
Bank Pembangunan Asia atau ADB melaporkan, sedikitnya 4,7 juta penduduk Asia Tenggara alias ASEAN masuk ke jurang kemiskinan pada 2021 akibat pandemi Covid-19. Jumlah tersebut merupakan perbandingkan terhadap baseline perkirakan jumlah penduduk miskin pada 2020 dalam skenario normal atau tanpa Covid-19.
Kelompok yang tergolong miskin ekstrem adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita kurang dari US$ 1,9 atau Rp 27.170 per hari (kurs Rp 14.300). Meski demikian, penambahan jumlah penduduk miskin ekstrem tahun lalu lebih kecil dibandingkan tahun pertama pandemi, yakni 5,4 juta orang pada 2020.
“Pandemi ini telah menimbulkan pengangguran di mana-mana, memperburuk ketimpangan, serta memperbesar tingkat kemiskinan, dan hal-hal tersebut terutama menimpa kaum perempuan, pekerja usia muda, dan lansia di Asia Tenggara,” kata Presiden ADB, Masatsugu Asakawa dalam keterangan tertulisnya Rabu (16/3).
Selain itu, pandemi juga menganggu pasar tenaga kerja. Organisasi Buruh Internasional atau ILO memperkirakan pada 2020, jumlah pekerja di kawasan tersebut 10,6 juta lebih sedikit dibandingkan skenario jika tanpa pandemi.
Adapun kelompok yang paling banyak terkena dampak pandemi, antara lain para pekerja tanpa keterampilan khusus, pekerja di sektor ritel dan perekonomian informal, serta usaha kecil yang tidak memiliki eksistensi digital.
"Dampak pandemi terhadap kemiskinan dan pengangguran kemungkinan akan tetap ada karena pekerja yang tidak aktif, menjadi tidak terampil dan akses orang miskin terhadap peluang semakin memburuk. Ketika ini terjadi, kemunduran dalam ketidaksetaraan dapat ditransfer lintas generasi," kata ADB.
Output ekonomi negara-negara ASEAN pada tahun ini juga diperkirakan masih 10 % di bawah skenario tanpa Covid-19. Untuk itu, ADB menyatakan siap untuk membantu negara-negara di kawasan ASEAN dalam membangun kembali perekonomiannya, meningkatkan sistem kesehatan nasional dan merampingkan peraturan domestik guna memperkuat daya saing usaha.
Asakawa meminta seluruh pemerintah di Asia Tenggara agar berinvestasi pada infrastruktur yang pintar dan hijau. Pemerintah juga diharapkan mengadopsi inovasi di bidang teknologi, untuk semakin menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Laporan ADB menyatakan, dalam kurun waktu dua tahun pandemi, perekonomian yang sudah mengadopsi teknologi secara luas, mampu mempertahankan ekspornya, atau kaya sumber daya alam, memiliki prospek pertumbuhan yang lebih cerah.
Negara-negara ASEAN juga disarankan untuk memperkuat sistem kesehatannya, dengan mengalokasikan lebih banyak lagi sumber daya untuk sektor ini. Alasannya, investasi dari sisi kesehatan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melalui naiknya partisipasi dan produktivitas tenaga kerja.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara diperkirakan dapat meningkat 1,5 % apabila belanja di sektor kesehatan kawasan mampu mencapai kisaran 5 % dari produk domestik bruto (PDB). Itu berarti, perlu ada peningkatan belanja kesehatan dari tahun lalu yang hanya 3 %.
"Namun, kawasan ini masih menghadapi sejumlah tantangan global, termasuk munculnya varian lain dari Covid-19, pengetatan suku bunga global, gangguan rantai pasokan, serta kenaikan harga komoditas dan inflasi," kata Asakawa.