Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan, lebih banyak negara yang akan mencari keringanan utang akibat menguatnya dolar AS yang membuat mereka kesulitan membayar. Lembaga ini menilai program yang dilakukan negara-negara kaya untuk membantu yang lebih miskin harus dilakukan lebih cepat dan lebih luas.
Wakil Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath menyebut, sekitar 60% negara berpenghasilan rendah berisiko tinggi atau sudah dalam kesulitan utang. Sementara itu, sekitar 20% negara pasar negara berkembang memiliki utang yang diperdagangkan berada dalam tekanan.
"Kami kemungkinan akan melihat lebih banyak negara membutuhkan keringanan utang," katanya, seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (27/8).
Lonjakan harga telah membuat banyak bank sentral di berbagai belahan dunia, khususnya negara maju menaikkan suku bunga. Kenaikan bunga dipimpin oleh langkah agresif Federal Reserve, yang menyebabkan penguatan dolar.
Di sisi lain, negara-negara berkembang telah mengumpulkan seperempat triliun dolar utang yang kini terancam memicu rentetan gagal bayar.
"Depresiasi mata uang pasar berkembang terhadap dolar memiliki konsekuensi inflasi," kata Gopinath.
Kondisi ini, menurut dia, membuat kebijakan moneter bagi negara berkembang jauh lebih menantang saat ini, terutama negara-negara yang meminjam dalam dolar. "Ini menyulitkan mereka untuk membayar kembali," ujarnya.
Beban utang yang memburuk terjadi setelah berakhirnya kesepakatan yang diadopsi oleh Kelompok 20 untuk menangguhkan atau mengubah pembayaran utang oleh negara-negara berpenghasilan rendah selama pandemi Covid-19. Kerangka kerja ini menggabungkan Klub Paris dari sebagian besar negara kreditur kaya serta Cina, yang bukan anggota, tetapi merupakan pemberi pinjaman bilateral resmi terbesar di dunia.
“Diperlukan lebih banyak tindakan cepat, dan ruang lingkup kerangka kerja harus diperluas ke negara-negara berpenghasilan menengah,” kata Gopinath.