Pemerintah menggelontorkan bantuan sosial tambahan sebesar Rp 24,17 triliun yang disebut sebagai 'pengalihan subsidi BBM'. Namun, sejumlah ekonom mengingatkan nominal tersebut kurang maksimal menjaga agar masyarakat tidak jatuh ke jurang kemiskinan saat harga BBM bersubsidi diputuskan naik.
Pemerintah telah mengumumkan penambahan anggaran bantuan sosial sebesar Rp 24,17 triliun untuk mengkompensasi kenaikan harga-harga. Ini meliputi bantuan langsung tunai (BLT) kepada 20,65 juta keluarga sebesar Rp 12,4 triliun, bantuan subsidi upah sebesar Rp 9,6 triliun, serta bantuan melalui anggaran daerah sebesar Rp 2,17 triliun.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebut, alokasi tersebut tidak sebanding dengan kenaikan inflasi. BLT yang akan diberikan kepada masyarakat dengan nominal Rp 150 per bulan selama empat bulan. Dengan asumsi bahwa satu keluarga terdiri atas empat orang, maka bantuan tersebut mengalir Rp 37,5 ribu per orang.
Nominal tersebut setara dengan 7,4% dari garis kemiskinan yang dirilis BPS untuk bulan Maret sebesar Rp 505 ribu. Yusuf membandingkan rasio bantuan yang diterima tersebut dengan inflasi harga pangan bergejolak yang berpotensi naik lebih tinggi.
Dalam hitungannya, kenaikan harga BBM akan memberikan efek rambatan ke harga pangan bergejolak dengan kenaikan inflasi ke level 15%. Adapun harga pangan bergejolak sudah melampaui level 11% pada bulan lalu yang merupakan rekor tertingginya sejak awal 2014.
"Apakah bisa menutupi kenaikan harga BBM dilihat dari sisi jumlahnya kemungkinan besar tidak cukup, karena ini tambahan BLT tambahannya per orang 7-8% per orang, sementara inflasinya khususnya volatile food bisa 15%," kata Faisal kepada Katadata.co.id, Selasa (30/8).
Namun, Faisal menyebut persoalannya bukan hanya dari besaran yang disalurkan. Pemerintah juga perlu memastikan bantuan bisa dicairkan sebelum harga BBM benar-benar naik. Jika bantuan sampai ke masyarakat terlambat atau kenaikan harga lebih dulu terjadi dibandingkan pencairan bansos, menurut dia, masyarakat akan menanggung beban kenaikan hari selama periode lagging tersebut. Hal ini bisa mendorong banyak masyarakat masuk ke jurang kemiskinan.
Selain itu, menurut dia, bantuan juga rencananya hanya diberikan selama empat bulan. Padahal, efek dari kenaikan harga BBM terhadap masyarakat miskin menurut Faisal tentu tidak hanya berlangsung selama empat bulan. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana nasib masyarakat setelah bantuan ini selesai.
Persoalannya lainnya terkait cakupan masyarakat yang menerima bantuan. Ia meragukan semua masyarakat miskin benar-benar masuk dalam daftar penerima BLT. Kenaikan BBM akan menekan semua kalangan termasuk masyarakat miskin belum tentu semua masyarakat miskin yang terdampak itu juga menerima bantuan.
"BLT ini bisa meredam semakin banyak orang yang jatuh ke jurang kemiskinan, tetapi tidak bisa meredam keseluruhan. Pasti angka kemiskinan tetap akan meningkat," kata Faisal.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky melihat tambahan bantuan sosial ini cukup efektif untuk menahan agar angka kemiskinan tidak melonjak tajam. Menurut dia, bantuan ini bisa meningkatkan pendapatan dari rumah tangga miskin sehingga daya belinya masih terjaga saat harga-harga naik.
"Dengan inflasi maka garis kemiskinan memang meningkat, tapi (penambahan bantuan sosial) ini agar tidak banyak masyarakat yang jatuh ke jurang kemiskinan," kata Riefky kepada Katadata.co.id
Namun, Riefky melihat sebetulnya bantuan ini masih bisa diperlebar dari alokasinya Rp 24,17 triliun. Ini dengan peritmbangan bahwa masih ada potensi penghematan yang dilakukan dari subsidi BBM.