Kematian Ratu Elizabeth Terjadi di Tengah Suramnya Ekonomi Inggris

ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah McKay/pras/sad.
Ilustrasi. Ekonomi Inggris saat ini sedang menghadapi tantangan dari kondisi inflasi yang tinggi.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
9/9/2022, 12.05 WIB

Kerajaan Inggris resmi mengumumkan Ratu Elizabeth II meninggal dunia di usia 96 tahun pada Kamis (8/9). Kepergian pemimpin monarki Inggris terlama itu terjadi di tengah kondisi ekonomi Inggris yang sudah berada di bibir jurang resesi.

Setelah kematian Elizabeth, tahta tertinggi akan diwariskan kepada anak sulungnya Pangeran Charles yang secara otomatis menjadi raja Inggris dan kepala negara dari 14 kerajaan lain termasuk Australia, Kanada, dan Selandia Baru. Dia diperkirakan akan mengunjungi semua negara di Inggris Raya dalam beberapa hari mendatang.

Brand Finance pada 2017 memperkirakan monarki Inggris berkontribusi terhadap ekonomi Inggris sebesar 1,7 miliar pounds terling atau setara Rp 29,3 triliun (kurs rata-rata 2017). Nilai dari monarki Inggris sendiri diperkirakan mencapai 67,5 miliar pounds.

Nilai tersebut terdiri atas aset benda seperti perkebunan, mahkota hingga koleksi permata kerajaan mencapai 25,5 miliar pounds. Mayoritas berupa aset tak benda senilai 42 miliar pounds berapa kontribusinya terhadap ekonomi Inggris selama bertahun-tahun.

Kepergian Ratu Inggris tersebut di tengah ekonomi terbesar kedua di benua biru itu tengah dihadapkan pada ancaman resesi. Inggris juga sedang menghadapi transisi politik dengan terpilihnya perdana menteri baru. 

"Perdana menteri yang akan datang akan berurusan dengan ekonomi yang menghadapi risiko resesi tinggi," kata Kepala Ekonom Bisnis di S&P Global Market Intelligence Chris Williamson dikutip dari The Guardian, Senin (5/9).

Perekonomian Inggris terkontraksi 0,1% pada kuartal kedua, setelah kuartal pertama berhasil tumbuh tipis 0,8%. Jika kuartal ketiga kembali terkontraksi, maka Inggris resmi memasuki resesi pada kuartal keempat atau pada akhir tahun. Risiko resesi meningkat seiring inflasi di Inggris yang terus naik. Inflasi bulan Juli mencapai 10,1%, pertama kalinya dalam 40 tahun terakhir melampaui level 10%.

Kamar Dagang Inggris (BCC) menurunkan ekspektasi untuk pertumbuhan ekonomi Inggris tahun ini menjadi 3,3% dari perkiraan sebelumnya 3,5%. Dalam jangka pendek,. resesi kemungkinan akan terjadi pada tahun ini dengan kontraksi yang diperkirakan dalam tiga kuartal beruntun mulai dari Q2 hingga akhir tahun. 

"Prediksi yang lesu untuk pertumbuhan PDB ini mengingat kondisi ekonomi yang memburuk, meningkatnya biaya energi, penurunan pengeluaran rumah tangga dan upah riil, prospek ekspor yang lebih lemah dan prospek ekonomi global yang pesimis, kondisi investasi yang buruk dan melemahnya kepercayaan bisnis dan arus kas," kata BCC dalam keterangan resminya, Kamis (1/9).

Inggris telah berjuang dengan kenaikan harga dan diperkirakan tekanan harga meningkat tahun ini. Inflasi pada akhir tahun diperkirakan mencapai 15%, lebih tinggi dari perkiraan BCC sebelumnya hanya di 10%. Namun tekanan diramal mulai berangsur mereda pada tahun depan.

Bank sentral Inggris (BoE) dalam laporan kuartalannya awal bulan lalu juga memprediksi Inggris akan memasuki resesi pada kuartal terakhir tahun ini. Kenaikan harga gas terbaru telah menyebabkan penurunan signifikan lainnya dalam prospek aktivitas di Inggris dan seluruh Eropa.

"Pendapatan riil rumah tangga pasca pajak diproyeksikan turun tajam pada 2022 dan 2023, sementara pertumbuhan konsumsi menjadi negatif," kata BoE dalam keterangan resminya.

Tekanan inflasi tahun ini diperkirakan lebih tinggi, dari 9,4% pada bulan Juni menjadi lebih dari 13% pada Q4 2022. Inflasi diperkirakan akan tetap pada tingkat yang sangat tinggi di sebagian besar tahun 2023, sebelum jatuh ke target 2% pada dua tahun ke depan.

Reporter: Abdul Azis Said