Bukti Ekonomi RI Mulai Terjangkit Penyakit Belanda, Apakah Berbahaya?

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Ilustrasi. Bank Dunia melihat ekspor Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada industri padat komoditas dan memiliki kecanggihan paling rendah di antara negara peers di Asia Timur.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
20/12/2022, 11.40 WIB

Bank Dunia memperingatkan perekonomian Indonesia rentan terjangkit dutch disease  alias penyakit belanda di tengah ledakan harga komoditas. Sejumlah indikator perekonomian memperlihatkan tanda-tanda risiko ini mulai dialami ekonomi domestik, salah satunya porsi industri manufaktur dalam perekonomian yang terus turun.

Penyakit Belanda merupakan istilah untuk menggambarkan fenomena suatu perekonomian yang terlena oleh dukungan pertumbuhan dari booming komoditas, sedangkan sektor manufakturnya justru terus menurun. 

Bank Dunia melihat ekspor Indonesia masih sangat terkonsentrasi pada industri padat komoditas dan memiliki kecanggihan paling rendah di antara negara peers di Asia Timur. Sumbangan Indonesia dalam ekspor global juga stagnan dan lebih rendah dari negara peers.

Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF M Rizal Taufiqurrahman mengatakan, fenomena penyakit Belanda biasanya muncul ketika terjadi ledakan komoditas. Tanda-tanda penyakit belanda ini mulai terlihat pada perekonomian Indonesia beberapa waktu terakhir di tengah lonjakan harga komoditas.

Ekspor meningkat pesat dalam setahun terakhir, tetapi laju kenaikannya tidak diikuti oleh pertumbuhan di sektor manufaktur. Kinerja ekspor lebih ditopang oleh komoditas, sedangkan kontribusi  industri manufaktur justru menurun. 

"Memang kalau dikatakan bahwa Indonesia sedang mengidap penyakit Belanda, memang begitu. Ekspor naik, nilai tukar juga menguat, tetapi daya saing industri tidak naik. Ini kan paradoks nya," kata Rizal saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (19/12).

Fenomena penyakit belanda ini, menurut Rizal, mengindikasikan  bahwa daya saing sektor industri dalam negeri masih rendah. Hal ini semakin diperkuat oleh makin ramai kabar manufaktur di dalam negeri mulai memangkas karyawan padahal kinerja ekspor secara keseluruhan masih cukup baik.

Data di atas menunjukkan kontribusi industri pengolahan dalam PDB Indonesia terus turun selama satu dekade terakhir. Penurunannya semakin cepat sejak 2021 saat terjadi lonjakan harga komoditas. Sebaliknya, kontribusi industri pertambangan yang merupakan sektor berbasis komoditas terus naik setidaknya dalam delapan kuartal terakhir.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, penyakit belanda terjadi saat ledakan harga komoditas membuat ekspor naik dan nilai tukar menguat. Ini artinya harga untuk barang ekspor semakin mahal karena kurs dolar melemah  terhadap mata uang lokal. 

Harga ekspor yang semakin mahal tersebut, menurut dia, dapat mengganggu daya saing produk sehingga akan mengurangi permintaan di pasar internasional. Permintaan yang menurun akan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur melambat atau bahkan melemah.

Meski demikian, David melihat penurunan pada kinerja manufaktur Indonesia satu dekade terakhir bukan karena fenomena penyakit Belanda. "Memang banyak hambatan di manufaktur kita," kata David.

 Menurut dia, pemerintah perlu memperbaiki perizinan, mengatasi masalah pertanahan, membuat ekosistem investasi lebih kondusif,  memberi insentif fiskal, memastikan ketersediaan sumber daya manusia (SDM), serta mendiversifikasi tujuan dan produk ekspor.

Apa Bahaya bagi Indonesia?

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky mengatakan fenomena penyakit Belanda tidak melulu bisa dilihat dari penguatan sektor komoditas yang kemudian menekan industri manufaktur. Penyakit Belanda biasanya terjadi ketika suatu perekonomian sangat bergantung terhadap pertumbuhan yang mengandalkan komoditas.

"Risiko ini cukup nyata dan sebetulnya sudah ada pertandanya, setiap harga komoditas meningkat maka penerimaan negara meningkat signifikan dan belanja mengandalkan siklus harga komoditas. Ini pertanda penyakit Belanda, performa penerimaan dan belanja serta pertumbuhan ekonomi tergantung dari performa harga komoditas," kata Riefky.

Menurutnya, penyakit ini sudah sering menjangkit Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Tanda-tandanya kembali terlihat sejak empat hingga lima kuartal terakhir, atau sejak lonjakan harga komoditas kuartal ketiga tahun lalu.

Lonjakan harga komoditas sudah sejak tahun lalu dan membuat neraca dagang Indonesia berulang kali mencetak rekor sering ekspor yang positif. Lonjakan harga komoditas kemudian semakin terakselerasi oleh perang di Ukraina yang membuat harga-harga energi dan pangan dunia melambung.

Menurut dia, ledakan komoditas yang kemudian dapat memunculkan penyakit belanda akan membahayakan ekonomi Indonesia. Ini karena Indonesia bisa saja terlena sehingga terus-terusan bergantung terhadap komoditas sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Namun, ekonomi Indonesia akan melambat sata harga komoditas turun.

Aliran investasi ke sektor produktif juga bisa menurun tergeser oleh investasi ke sektor komoditas. Riefky menyebut porsi penyaluran kredit ke sektor komoditas seperti CPO juga cukup besar di Indonesia.

"Bahaya lainnya, ini akan membatasi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan kebijakan countercyclical apabila penerimaan tergantung dari harga komoditas," kata Riefky

Reporter: Abdul Azis Said