Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan fragmentasi dapat merugikan ekonomi global hingga 7% terhadap produk domestik bruto atau PDB global. Biaya ini setara dengan PDB Jerman dan Jepang
Mengutip CNBC, laporan baru IMF menyebutkan, biaya jangka panjang dari fragmentasi berkisar antara 0,2% hingga hampir 7% PDB. Namun, IMF dalam laporan tersebut tidak mejelaskan berapa lama waktu yang dibutuhkan agar fragmentasi mempengaruhi ekonomi global sebesar itu.
IMF mendefinisikan sejumlah kondisi yang termasuk sebagai fragmentasi. Beberapa kondisi tersebut mendatangkan ramalan dampak yang lebih suram. IMF menyebut fragmentasi yang mengarah pada pemutusan teknologi antar wilayah menunjukkan bahwa negara-negara dapat kehilangan hingga 12% dari PDB.
IMF juga mencantumkan sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya fragmentasi global, termasuk perang Rusia dan Ukraina, serta pandemi Covid-19. Keduanya menganggu rantai pasok global, terutama di bidang pangan dan energi. Pembatasan perdagangan tambahan juga dapat diadopsi oleh sejumlah negara dapat memicu perselisihan antar wilayah.
“Risikonya adalah bahwa intervensi kebijakan atas nama keamanan ekonomi atau nasional dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Ini dapat digunakan dengan sengaja untuk keuntungan ekonomi dengan mengorbankan orang lain,” kata laporan tersebut.
Fragmentasi yang dimaksud IMF juga mencakup pembatasan migrasi lintas batas, pengurangan arus modal dan penurunan kerjasama internasional.
Menurut IMF, tidak semua negara akan merasakan dampak fragmentasi secara merata. Namun, konsumen berpenghasilan rendah di negara maju kemungkinan tidak akan lagi memiliki akses ke barang impor yang lebih murah, membuat ekonomi pasar terbuka yang kecil sangat rentan.
“Sebagian besar Asia akan menderita karena sangat bergantung pada perdagangan terbuka,” kata laporan tersebut.
Negara-negara berkembang juga akan berhenti mendapatkan keuntungan dari limpahan teknologi dari negara-negara yang lebih maju, yang di masa lalu telah membantu meningkatkan pertumbuhan dan standar hidup.
“Alih-alih mengejar tingkat pendapatan ekonomi maju, negara berkembang akan semakin tertinggal,” kata laporan itu.
IMF merekomendasikan tiga pendekatan untuk mengatasi fragmentasi, yakni memperkuat sistem perdagangan internasional, membantu negara-negara yang rentan untuk menangani utang, dan meningkatkan aksi iklim.
Topik-topik ini kemungkinan besar akan banyak ditampilkan dalam diskusi di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, mulai Senin (16/1) waktu Davos. Perhelatan ini mengangkat tema “kerja sama di dunia yang terfragmentasi”.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya juga telah memperingatkan bahwa fragmentasi akan menjadi salah satu risiko global yang membayangi perekonomian Indonesia pada tahun ini.
“Perang di Ukraina terus memperburuk krisis ketahanan pangan dan gizi global, dengan harga energi, makanan, dan pupuk yang tinggi dan mudah berubah, kebijakan perdagangan yang membatasi, dan gangguan rantai pasokan,” ujar Menkeu saat pertemuan para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 di Bali pada Oktober 2022.
Sri Mulyani mengatakan, pandemi dan perang di Ukraina telah membuat harga energi melonjak, mengakibatkan kekurangan energi dan masalah keamanan energi. Gejolak harga energi telah mempengaruhi sebagian besar negara, tetapi negara-negara berkembang menghadapi beban tertinggi.
Di sisi lain, menurut dia, pengetatan kebijakan moneter global terjadi secara lebih cepat dari yang diantisipasi, dengan banyak negara maju dan berkembang menaikkan suku bunga mereka secara signifikan. Kondisi ini menciptakan risiko limpahan di seluruh dunia.
“Kepemimpinan yang kuat dan tindakan kolektif yang cepat diperlukan untuk membawa dunia kembali ke pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif,” ujarnya.