Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 200 ribu orang pada September 2022 dibandingkan enam bulan sebelumnya. Kemiskinan meningkat akibat imbas kenaikan harga BBM hingga masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menjelaskan, ada beberapa fenomena yang mempengaruhi kenaikan kemiskinan pada September 2022 sekalipun pemulihan ekonomi berlanjut. Pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2022 secara kuartalan melambat jika dibandingkan kuartal sebelumnya, meskipun secara tahunan tumbuh menguat.
Pertumbuhan konsumsi masyarakat sepajang Juli-Agustus 2022 secara tahunan juga melambat 0,12% dibandingkan kuartal sebelumnya. Upah buruh tani harian pada September 2022 juga turun 1,99% dibandingkan Maret.
"Peristiwa-peristiwa lain yang juga akan berpengaruh kepada kemiskinan kita yakni sepanjang September 2022 itu terjadi PHK di sektor padat karya seperti industri tekstil, alas kaki dan perusahaan teknologi," kata Margo, Senin (16/1).
Aksi PHK masif terjadi sejak beberapa bulan lalu terutama di pabrik-pabrik tekstil dan alas kaki. Pengusaha mengklaim pemangkasan tenaga kerja sebagai imbas lesunya permintaan dari ekspor di tengah bayang-bayang pelemahan ekonomi dunia.
Margo mengatakan, kenaikan angka kemiskinan terutama juga karena kenaikan harga BBM pada September lalu. Pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi sehingga harga-harga barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat miskin juga naik.
Penduduk kategori miskin merupakan mereka yang pengeluaran perbulannya dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan pada September dihitung sebesar Rp 535.547 atau naik 5,95% dari Maret 2022 karena adanya kenaikan harga BBM.
"Kalau pendapatan atau pengeluaran masyarakat naiknya tidak setinggi kenaikan garis kemiskinan, maka penduduk tersebut tidak bisa keluar dari kemiskinan," kata Margo.
Seperti dikatakan Margo, pendapatan yang naik tidak setinggi kenaikan harga-harga barang bisa menyeret semakin banyak orang jatuh miskin. Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai tren PHK beberapa bulan terakhir di beberapa sektor membuat daya beli masyarakat menurun.
Faisal menjelaskan, pekerja yang kehilangan pekerjaannya karena PHK otomatis menurunkan daya belinya. Ini karena mereka kehilangan sumber penghasilan atau beralih ke sektor informal yang upahnya jauh lebih rendah di tengah harga-harga barang meningkat.
"Kalau pendapatannya jatuh menjadi lebih rendah, otomatis dia sangat mungkin yang tadinya sedikit di atas garis kemiskinan kemudian jatuh ke bawah garis kemiskinan," kata Faisal.
Ia juga menduga ada kemungkinan penduduk miskin baru pada September 2022 adalah mereka pengeluarannya sudah mendekati garis kemiskinan kemudian berdampak PHK. Garis kemiskinan ini mencerminkan nilai pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Oleh karena itu, mereka yang pengeluaran bulanannya di bawah garis kemiskinan berarti tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan dikategorikan miskin.
Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo sebelumnya memperkirakan, tiga jenis industri akan kembali melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK massal pada 2023. Hal itu disebabkan ada penurunan permintaan yang signifikan dari pasar industri tersebut.
Wakil Ketua Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa tiga industri yang akan melakukan PHK massal tersebut yaitu industri tekstil, alas kaki, dan furniture. Ketiganya merupakan industri padat karya yang berorientasi ekspor.
"Pasti akan lakukan PHK pada tahun depan, bukannya akan lagi," ujar Shinta kepada Katadata.co.id saat ditemui di Kantor Apindo, Jakarta, Rabu (21/12).