Mengapa Kebangkrutan Silicon Valley Bank Bisa Dorong Rupiah Menguat?

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Penulis: Abdul Azis Said
13/3/2023, 20.37 WIB

Kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB) yang menggemparkan pasar keuangan global telah menjadi sentimen yang membantu rupiah menguat bersamaan dengan mata uang Asia lainnya pada perdagangan awal pekan ini.

Namun ekonom memperingatkan bahwa efek limpahan dari kejatuhan bank pemberi modal startup itu bisa mendorong pasar beralih ke aset berisiko.

SVB merupakan bank besar yang terkenal dengan pandangannya terhadap perusahaan rintisan alias startup. Startup yang menjadi nasabah SVB ramai-ramai menarik simpanannya untuk memenuhi ketersediaan kas perusahaan saat suku bunga tinggi memicu biaya pinjaman dan penggalangan dana yang lebih mahal.

Tren penarikan simpanan itu memicu kekurangan modal dan SVB harus menjual rugi aset yang dipegangnya. Walhasil Regulator California menutup bank tersebut pada akhir pekan lalu.

Kabar kebangkrutan SVB itu kemudian menjadi perhatian pasar pada perdagangan awal pekan ini. Pasar mata uang Asia terpantau menguat, dengan yen Jepang dan won Korea Selatan menguat tajam lebih dari 1% terhadap dolar AS sore ini. Rupiah juga menguat 0,48% dibandingkan akhir pekan lalu.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kejatuhan SVB telah memicu perubahan drastis pada ekspektasi suku bunga bank sentral AS, The Fed. Bank sentral terbesar dunia itu kemungkinan menahan diri mengambil langkah agresif mengantisipasi risiko makin banyaknya bank bernasib sama jika suku bunga terus naik.

Alat pemantauan CME Group FedWatch Tool menunjukan probabilitas kenaikan suku bunga The Fed mulai berbalik. Pada pekan lalu, kemungkinan suku bunga dikerek 50 bps pada pertemuan bulan ini terus naik usai data tenaga kerja yang masih solid dan inflasi yang bertahan tinggi.

Namun situasi tersebut berbalik, probabilitasnya turun jadi 0% pada hari ini. Sebaliknya, probailitas The Fed menahan suku bunga justru meningkat. Dengan kata lain, kejatuhan SVB memicu pasar berekspektasi Fed akan less hawkish.

Level terminal rate alias puncak suku bunga The Fed juga diperkirkaan tidak setinggi ekspektasi sebelumnya. "Makanya kondisi ini cenderung membuat rupiah menguat, dalam jangka pendek mungkin masih akan bergerak di rentang Rp 15.300-15.400 per dolar AS," kata Josua, Senin (13/3).

Meski demikian, ia menyebut penguatan rupiah dan mata uang Asia lainnya bukan mengindikasikan bahwa kebangkrutan SVB memicu sentimen positif ke aset berisiko. Pasalnya indeks saham di AS berguguran usai kabar kejatuhan SVB, yang disusul koreksi beberapa indeks saham Asia hari ini.

Di sisi lain, ia menyebut pasar akan menantikan upaya regulator AS menangkal efek rambatan kejadian terbaru itu. Rupiah menurutnya maka akan cenderung melemah jika kepanikan terhadap efek rambatan itu meluas ke pasar keuangan global.

Ia memperkirakan masih cukup berat rupiah kembali ke bawah Rp 15.000, ia memperkirakan, rupiah akan bergerak di rentang Rp 15.100-15.400 per dolar AS. Simak pergerakan rupiah beberapa bulan terakhir pada databoks berikut:

Ekonom senior KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana menyebut ia masih khawatir apakah kejatuhan SVB benar-benar menjadi sentimen positif ke rupiah. Pasalnya, pasar akan terus melihat sejuah mana kebangkurtan bank itu akan meluas,

Penguatan rupiah pada awal pekan ini menurutnya kemungkinan karena kabar terkait komitmen regulator AS meminimalisir risiko spillover dan jaminan dana nasabah bisa ditarik utuh. Artinya, pemerintah AS akan mengambil tindakan penyelamatan nasabah yang kemungkinan salah satunya dengan memborong aset obligasi milik SVB..

"Kalau itu yang terjadi, harusnya harga US Treasury juga akan bagus, kalau harganya bagus kemungkinan yield turun dan ekspektasi kenaikan bunga The Fed mungkin akan lebih terbatas, ini yang mendorong yield US Treasury turun tadi malam," kata Fikri.

Menurutnya, nilai tukar rupiah menguat kemungkinan karena risiko dari global sedikit mereda dengan langkah-langkah yang akan dilakukan regulator.

Meski demikian, pasar, menurutnya masih akan mencermati perkembangan kasus ini. Pasalnya, pasar bisa berbalik menghindari risiko dan keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia jika efek limpahan SVB meluas ke pasar keuangan global.

Reporter: Abdul Azis Said