Sri Mulyani: Dunia Masih Waspadai Risiko Krisis Perbankan

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, fokus utama para regulator keuangan global pada pertemuan pekan lalu yakni prospek ekonomi global yang melambat di tengah serangkaian pengetatan moneter.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
17/4/2023, 16.53 WIB

Para menteri keuangan, gubernur bank sentral hingga sektor swasta global yang berkumpul dalam pertemuan musim semi IMF-Bank Dunia di Washington DC, AS pada pekan lalu masih mewaspadai risiko krisis perbankan. Pengetatan moneter di AS telah menyebabkan tiga bank di AS bangkrut, salah satunya Silicon Valley Bank alias SVB. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, fokus utama para regulator keuangan global pada pertemuan pekan lalu yakni prospek ekonomi global yang melambat di tengah serangkaian pengetatan moneter. Kenaikan bunga agresif ditambah pengetatan likuiditas tersebut menurutnya juga telah berdampak ke sektor perbankan.

 "Pembahasannya adalah apakah krisis perbankan di Eropa dan AS sudah teratasi atau masih diwaspadai, kesimpulannya masih harus diwaspadai," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA edisi April 2023 secara daring, Senin (17/4). 

Kejatuhan SVB pada awal bulan lalu telah menimbulkan kegaduhan di pasar keuangan global. Bank spesialis startup itu bangkrut setelah nasabahnya ramai-ramai menarik simpanannya di tengah kekhawatiran bahwa bank kekurangan likuiditas saat suku bunga tinggi.

Kekhawatiran ini meluas hingga ke Eropa. Raksasa keuangan Swiss, Credit Suisse menghadapi guncangan tak lama setelah kabar kejatuhan SVB. Credit Suisse pada akhirnya diakuisisi oleh pesaingnya, UBS atas dorongan dari regulator. 

Serangkaian kejatuhan bank di AS dan Eropa itulah yang memicu kekhawatiran bahwa pengetatan moneter telah menimbulkan efek samping terhadap industri perbankan.

 Sri Mulyani juga mengatakan prospek ekonomi global tahun ini masih akan sangat dipengaruhi oleh inflasi dan suku bunga tinggi. Oleh karena itu, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 yang hadir pada forum itu juga sepakat melihat tantangan tahun ini tidak mudah.

 Inflasi tinggi diikuti suku bunga yang naik agresif akan memukul perekonomian di negara maju. Dengan kondisi tersebut, perekonomian negara berkembang dan emerging market juga akan kena imbasnya terutama yang sangat bergantung terhadap ekspor.

Pembukaan kembali ekonomi Cina dengan pelonggaran kebijakan Covid-19 telah menjadi harapan baru bisa mengungkit pertumbuhan. Meski demikian Sri Mulyani cukup pesimistis akan hal itu.

"Reopening dari kondisi di Cina belum mampu memulihkan perekonomian atau mengkompensasi, ini berarti sumber pertumbuhan ekonomi dunia masih sangat lemah tahun ini. Dan ini akan mempengaruhi volume dan transaksi ekspor impor antar negara yang pasti akan melemah," kata Sri Mulyani.

IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini akan melambat menjadi 2,8% dari 3,4% pada tahun lalu. Meski demikian ada harapan perekonomian dunia tahun depan rebound dengan tumbuh sedikit lebih tinggi di level 3%.

 

Reporter: Abdul Azis Said