HSBC melihat pengembangan ekosisten kendaraan listrik di Indonesia dapat membantu mendongkrak perekonomian. Indonesia berpotensi mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5,8% dalam lima tahun mendatang.
Kepala Ekonom HSBC untuk India dan Indonesia Pranjul Bhandari menyebut larang ekspor bijih nikel telah memicu peningkatan investasi di smelter dan rantai pasok kendaraan listrik. Peningkatan investasi ini diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
"Kami memperkirakan bahwa beberapa manfaat berupa pertumbuhan ekonomi akibat peralihan dari bijih mentah menjadi produk jadi sudah terlihat," kata Pranjul dalam risetnya dikutip Jumat (26/5).
HSBC melihat manfaat dibangunnya ekosistem kendaraan listrik terhadap ekonomi selama lima tahun ke depan masih cukup besar. Perekonomian diperkirakan bisa tumbuh hingga 5,8% pada tahun 2028.
Pertumbuhan ekonomi potensial Indonesia saat ini sebesar 5,3%. Ada peluangpenambahan sekitar 0,5% selama lima tahun ke depan seiring pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Prospek tersebut dengan perincian sebagai berikut:
- Pertumbuhan ekonomi bisa bertambah 0,15 poin persentase dengan asumsi ada tambahan investasi sekitar US$ 30 miliar untuk hilirisasi logam selama lima tahun ke depan.
- Pertumbuhan ekonomi tumbuh 0,1% dengan asumsi pemerintah akan memperluas larangan ekspor bijih mineral seperti bauksit dan tembaga. Tambahan pertumbuhan tersebut bisa diperoleh jika separuh dari ekspor bijih bauksit dan tembaga itu diolah menjadi produk bernilai tambah lebih tinggi.
- tambahan pertumbuhan ekonomi 0,2 poin persentase dengan asumsi peningkatan pada investasi terhadap pabrik kendaraan listrik. Ini mencakup investasi terhadap pabrik baterai mobil listrik, pabrik baterai kimia dan pabrik otomotif.
"Dengan penambahan dari tiga sumber, kami melihat pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,5 poin persentase menjadi 5,8% pada tahun 2028," kata Pranjul.
Peningkatan pada ekosistem kendaraan listrik juga diperkirakan bisa menekan defisit transaksi berjalan Indonesia menjadi lebih rendah. Ini didukung peningkatan pada neraca perdagangan logam khususnya nikel.
Dengan kondisi eksternal yang makin kuat itu, Pranjul melihat manfaatnya terhadap peningkatan independensi bank sentral. Bank Indonesia bisa fokus terhadap situasi domestik dalam menggerakkan kebijakan moneternya.
Meski demikian, Indonesia dinilai masih punya sejumlah pekerjaan rumah terutama berkaitan dengan dampak lingkungan karena pembuatan baterai berbasis nikel ini memiliki jejak karbon yang tinggi.
"Selain itu, perlu inovasi teknologi lebih lanjut dan menjaga stabilitas lingkungan makro ekonomi adalah hal penting lainnya untuk mencapai kesuksesan itu," kata Pranjul.