Nilai tukar rupiah dibuka menguat 22 poin ke level 14.932 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Namun, analis khawatir rupiah berbalik melemah karena ekspektasi berlanjutnya kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve pada tahun ini.
Mengutip Bloomberg, rupiah berbalik melemah dari posisi pembukaan ke level 14.941 pada pukul 09.20 WIB. Namun, posisi ini masih menguat 0,09% dibandingkan penutupan kemarin sore.
Mayoritas mata uang Asia lainnya juga menguat terhadap dolar AS. Yen Jepang terapresiasi 0,16%, won Korsel 0,61%, peso Filipina 0,29%, dolar Taiwan 0,11%, ringgit Malaysia 0,19%. Sebaliknya, dolar Singapura dan Hong Kong serta beberapa mata uang lainnya melemah.
Rupiah diramal masih melemah hari ini di tengah ekspektasi bahwa suku bunga masih akan naik pada tahun ini alih-alih pemangkasan. Analis PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra memperkirakan, rupiah akan melemah ke arah Rp 15.000 per dolar AS, dengan potensi support di kisaran 14.850 per dolar AS.
Ia menjelaskan, ekspektasi pasar terhadap arah suku bunga The Fed kini berbalik. Alih-alih bertaruh terhadap pemangkasan suku bunga, pasar kini khawatir suku bunga akan kembali naik meskipun The Fed memutuskan menahan suku bunganya pada pertemuan kemarin. Ini karena hasil rapat menunjukkan mayoritas pembuat kebijakan The Fed berekspektasi masih ada dua kali kenaikan sampai akhir tahun sehingga level bunga bisa naik ke 5,5-5,75%.
"Ini mendorong penguatan dolar AS terhadap nilai tukar lainnya terutama nilai tukar emerging market," kata Ariston dalam catatannya pagi ini, Jumat (16/6).
Para pembuat kebijakan The Fed akan kembali bertemu pada bulan depan. Alat pemantauan CME Group menunjukkan probabilitas kenaikan 25 bps pada pertemuan tersebut meningkat menjadi 72% dari pekan lalh masih 51%.
Selain itu, pelemahan rupiah juga akan terpengaruh risiko perlambatan ekonomi Cina. Hal ini bisa menekan rupiah karena hubungan ekonomi Indonesia dengan negeri panda cukup besar.
Dari dalam negeri, surplus dagang yang jauh di bawah ekspektasi pasar juga akan menekan rupiah. Surplus dagang Mei hanya sebesar US$ 440 juta, jauh lebih rendah dari ekspektasi pasar masih bisa menxapai US$ 3 miliar.
"Ini bisa menjadi faktor negatif. Tapi ekspor dan impornya naik, artinya ekonomi Indonesia aktif tumbuh," kata Ariston.