Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan, kenaikan suku bunga dapat berdampak negatif terhadap kondisi korporasi di dalam negeri. Utang korporasi juga semakin terkonsentrasi pada perusahaan-perusahaan berisiko.
"Analisis staf (IMF) terhadap perusahaan yang sudah listing menunjukkan bahwa perusahaan akan sensitif terhadap peningkatakn kumulatif kebijakan suku bunga sejak 2022," tulis laporan IMF dikutip Selasa, (27/6).
Sensitifitas terhadap kenaikan suku bunga tersebut karena utang korporasi makin terkonsetrasi ke perusahaan-perusahaan yang berisik lebih tinggi o. Utang yang dipegang oleh perusahaan rentan mencakup 28% dari total utang korporasi, meningkat dari sebelumnya 21%.
IMF mendefinisikan perusahaan rentan yakni korporasi yang memiliki rasio cakupan bunga atau interest coverage ratio (ICR) yang rendah atau kurang dari satu. ICR ini mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar bunga. Semakin rendah rasionya, maka kesanggupan membayar bunga semakin buruk.
Selain itu, kenaikan bunga juga menimbulkan kerentanan terhadap perbankan karena kredit selama ini terkonsetrasi di perusahaan yang terpukul dalam karena pandemi Covid-19. Di sisi lain, perbankan juga berisiko menghadapi kerugian belum terealisasi alias unrealized loss dari kepemilikan surat utang pemerintah. Perbankan diketahui mengempit banyak surat utang pemerintah yang setara 8,8% PDB.
Meski demikian, lembaga berbasis di Washington DC itu juga melihat bahwa perbankan di dalam negeri telah berjaga-jaga dengan meningkatkan CKPN untuk memastikan risiko kualitas aset. Di samping itu, perbankan juga terpantau menyeimbangkan kembali portofolio obligasi pemerintah mereka dari available-for-sale (AFS) menjadi hold-to-maturity (HTM) untuk mengurangi kerugian.
IMF sebetulnya bukan hanya memperingatkan Indonesia soal utang korporasi ini, tetapi beberapa negara Asia lainnya. Dalam sebuah catatannya awal bulan lalu, IMF menyebut utang swasta di kawasan terkonsentrasi di perusahaan-perusahaan rentan dengan ICR kurang dari satu.
"Pada pertengahan 2022, lebih dari 20% utang perusahaan di Cina, India, Indonesia, Korea Selatan dan Thailand dimiliki oleh perusahaan dengan ICR rata-rata kurang dari satu selama empat kuartal. Perusahaan ini dianggap beresiko bangkrut," demikian dikutip dari laporan IMF tersebut.
Konsentrasi utang di perusahaan yang berisiko jauh di atas rata-rata historis. Mayoritas berasal dari sektor industri, properti serta konstruksi. Ini tidak termasuk utang UMKM.
Dalam laporan itu, IMF kemudian membuat dua skenario terkait kerentanan dari sektor swasta di Asia ke depan dengan suku bunga yang lebih tinggi dan kondisi keuangan global yang bergejolak.
Skenario pertama, pengetatan kredit perbankan yang moderat. Pada skenario ini, kontribusi utang dari perusahaan rentan terhadap total utang swasta akan meningkat 150 bps dari baseline. Lonjakan pada share utang perusahaan dengan ICR kurang dari satu akan melonjak di Korea Selatan, Singapura dan Vietnam.
Skenario kedua, yakni penurunan yang tajam. Diasumsikan kerapuhan sistem perbankan benar-benar terwujud dan penyaluran kredit berkurang tajam. Dalam skenario ini, kontribusi utang perusahaan rentan terhadap total utang swasta akan meningkat sebesar 250 bps di masing-masing negara, tergantung dari seberapa besar tingkat eksposur terhadap kondisi keuangan global.
Dalam skenario kedua ini, konsentrasi utang di perusahaan yang rentan atau memiliki ICR kurang dari satu akan semakin meningkat. Pengecualian terhadap Australia karena korporasi di negara itu dinilai memiliki neraca yang tangguh.