Waspada Efek Buruk Tipisnya Selisih Suku Bunga BI dan The Fed

123RF.com/normaals
Ilustrasi. Pasar berekspektasi The Fed masih akan menaikkan suku bunganya satu kali lagi pada September, sedangkan BI telah memberikan sinyal kuat tidak akan menaikkan suku bunga ke depan meski The Fed masih hawkish.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
27/7/2023, 17.59 WIB

Selisih suku bunga Bank Indonesia dan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve semakin tipis. The Fed memutuskan kenaikan suku bunga 25 bps pada Rabu (26/7) ke level tertinggi dalam dua dekade sebesar 5.25%-5,5%, mendekati suku bunga acuan BI saat ini sebesar 5,75%. 

Suku bunga kedua bank sentral ini pun berpotensi semakin mendekati jika melihat arah kebijakan keduanya. Pasar berekspektasi The Fed masih akan menaikkan suku bunganya satu kali lagi pada September, sedangkan BI telah memberikan sinyal kuat tidak akan menaikkan suku bunga ke depan meski The Fed masih hawkish

Istilah hawkish biasanya digunakan untuk menggambarkan respons kebijakan moneter bank sentral yang cenderung kontraktif, seperti menaikkan suku bunga atau mengurangi neraca bank sentral. Sebaliknya, pasar menggunakan istilah dovish ketika bank sentral berbicara tentang penurunan suku bunga atau meningkatkan pelonggaran kuantitatif untuk merangsang ekonomi.

Suku bunga The Fed sebesar 5,25%-5,75% merupakan yang tertinggi dalam lebih dari dua dekade terakhir. Pasar melihat kenaikan itu bisa menjadi yang terakhir sebelum pejabat The Fed berhenti sejenak untuk melihat bagaimana kenaikan sebelumnya berdampak pada kondisi ekonomi. Namun pada pertemuan Juni, para pembuat kebijakan mengindikasikan bahwa ada dua kenaikan suku bunga akan datang tahun ini.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberikan sinyal kuat tak ingin menaikkan lagi suku bunga acuannya meski masih ada kenaikan bunga The Fed. Perry mengatakan, bank sentral akan menempuh upaya lain selain kenaikan suku bunga untuk merespons sikap bank sentral AS, The Fed yang masih hawkish. Ia memperkirakan suku bunga di AS masih akan naik dua kali lagi, pada pertemuan bulan ini dan September.

"Strateginya bagaimana? suku bunga kan kita putuskan berdasarkan perkiraan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sementara inflasinya rendah, pertumbuhan ekonominya juga cukup baik, sehingga level 5,75% itu pas dan konsisten," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (25/7).

The Fed Belum Tentu Naikkan Bunga Lagi

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan, The Fed masih membuka ruang untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps. Namun dalam pertemuan kemarin, bank sentral yang paling berpengaruh di dunia ini menyebut kebijakan suku bunga akan diputuskan berdasarkan data-data terbaru. Ini artinya, belum tentu ada kenaikan suku bunga pada September. 

"Ekspektasi pasar bahkan condong ke arah, The Fed memangkas The Fed Fund Rate ke kisaran 5% – 5,25% selama pertemuan FOMC pada September 2023 dan mempertahankannya pada level tersebut hingga akhir tahun 2023," ujar Faisal dalam risetnya yang dipublikasikan pada Kamis (27/7). 

Ia mengamati dampak kenaikan suku bunga The Fed saat ini tak terlalu signifikan terhadap rupiah dan pasar obligasi domestik. Hal ini berkat kondisi inflasi di dalam negeri yang terkendali dan diperkirakan sesuai dengan target bank sentral 2%-4% hingga akhir tahun ini. 

"Prakiraan kami menunjukkan tingkat inflasi berada di sekitar 3% pada akhir tahun 2023. Sementara kami perlu mengantisipasi risiko El Nino terhadap inflasi pangan, tampaknya dampak saat ini diperkirakan akan terbatas," kata dia. 

Menurut dia, kenaikan suku bunga AS memang dapat berdampak pada kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah. Namun, ia menilai BI tak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuannya jika imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun masih berada di kisaran 6%. 

"Jadi kemungkinan kenaikan suku bunga BI akan sangat terbatas," kata dia. 

Faisal memperkirakan BI tetap mempertahankan suku bunga di level 5,75% hingga akhir tahun ini. Nilai tukar Rupiah diperkirakan berada di kisaran Rp 14.800 – Rp 14.900 per USD, dan imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun dalam rupiah tetap berada di level 6,2% hingga akhir 2023. 

"Namun demikian, penting bagi BI untuk tetap mewaspadai perkembangan ekonomi global yang masih diwarnai dengan ketidakpastian yang signifikan," ujarnya. 

Rupiah Tak akan Terguncang

Bagaimana jika The Fed benar-benar menaikkan bunga lagi pada September? Jika itu terjadi, maka selisih antara suku bunga BI dan suku bunga tengah The Fed hanya tersisa 10 bps. 

Analis pasar uang PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra menilai rupiah berpotensi tertekan jika The Fed kembali menaikkan suku bunga pada September. Namun, menurut dia, tekanannya tidak akan terlalu besar karena pasar saat ini sudah mengantisipasi kenaikan tersebut  atau price in.  

Menurut dia, pasar masih akan mengamati sinyal yang diberikan para pejabat The Fed beberapa waktu ke depan Jika inflasi Amerika Serikat terus turun, bukan tidak mungkin The Fed akan memberi sinyal dovish pemangkasan suku bunga.

"Kalau sinyal itu yang ditangkap pelaku pasar, dolar AS justru akan tertekan lagi terhadap nilai tukar lainnya," kata Ariston.

Namun, menurut dia, masih banyak faktor yang bisa mempengaruhi pasar hingga akhir tahun ini. Menurut dia, ada kemungkinan faktor-faktor baru yang belum diketahui muncul dan menjadi perhatian pasar. Oleh karena itu, ia memperkirakan rupiah akan berada dalam rentang Rp 14.500- Rp 15.200 per dolar AS hingga akhir tahun. 

Ekonom senior KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana menerangkan, dampak kenaikan suku bunga The Fed juga akan terlihat pada imbal hasil obligasi pemerintah. Namun, menurut dia, imbal hasil yang ditawarkan aset Indonesia saat ini masih cukup menarik meski selisih suku bunga BI dan The Fed makin menipis. Tingkat yield SBN benchmark 10 tahun saat ini masih di level 6,2%, berjarak 240 bps di atas tenor yang sama US Treasury.

Meski selisih yield SBN dan obligasi pemerintah untuk tenor 10 tahun semakin menyempit, kondisinya belum separah pada 2008. Obligasi pemerintah masih menarik selama selisih imbal hasil dengan obligasi AS masih di atas 150 bps. 

"Faktor yang sebenarnya bisa mendukung SBN atau membuat aset portofolio kita makin menarik adalah kondisi fundamental," ujar Fikri saat dihubungi melalui panggilan telepon, Kamis (27/7).

Kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini memang masih lebih baik dibandingkan Amerika Serikat. Selain itu, kinerja pengelolaan fiskal Indonesia juga jauh lebih baik dengan defisit anggaran yang akan lebih kecil dari target, sangat berbeda dengan AS yang justru sempat diterpa isu pembengkakan plafon utang belum lama ini.

Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mewaspadai dampak tekanan ekonomi global, termasuk kenaikan suku bunga AS terhadap APBN. Salah satunya, dengan mengelola portofolio utang. 

Ia menjelaskan, tren pembiayaan utang menurut pada semester pertama tahun ini. Realisasinya bahkan belum mencapai seperempat target tahun ini yakni Rp 196,9 triliun dari target APBN Rp 696,3 triliun. 

 "Tren ini harus dijaga, karena situasi global yang cenderung dengan kenaikan suku bunga tinggi dan volatilitas tinggi. Exposure pembiayaan utang harus dijaga di level aman, yang dilakukan dengan menurunkan pembiayaan utang," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (24/7). 

Reporter: Abdul Azis Said