Pilihan instrumen investasi di Indonesia semakin beragam dengan imbal hasil yang menarik. Menteri Keuangan Sri Mulyani membagikan tips kepada masyarakat agar tak mudah tertipu saat berinvestasi.
Menurut Sri Mulyani, aspek yang paling penting untuk diperhatikan adalah fundamental dari suatu instrumen investasi. Ia mengingatkan agar masyarakat tak mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi dalam waktu singat di era serba cepat ini. singkat.
“Seperti membeli surat berharga negara, jangan hanya melihat ada ORI tenor 3 tahun dengan suku bunga tertentu langsung dibeli. Baca APBN, harus terbiasa membaca dan mengetahui apa yang dibeli. Semakin menarik hasil investasinya, harus semakin waspada,” ujar Sri Mulyani dalam acara LIKE IT 2023 di Jakarta, Senin (14/8).
Ia juga memaparkan data yang menunjukkan ketimpangan antara literasi atau tingkat tingkat melek keuangan dan inklusi atau tingkat kepemilikan produk keuangan di Indonesia. Indeks inklusi keuangan saat ini mencapai 85%, sedangkan indeks literasi keuangan hanya mencapai 49,6%.
Ketimpangan tersebut, menurut Sri Mulyani, menandakan masih banyak masyarakat yang sudah menggunakan produk keuangan tetapi tidak paham betul produk yang digunakan.
"Investasi itu ada yang aman dan tidak aman, high risk, high return. Tapi investor keinginannya high return, low risk. Ini yang perlu diedukasi," katanya
Sri Mulyani pun memastikan akan terus menggencarkan kolaborasi dan sinergi dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk mengedukasi masyarakat. Ini agar tingkat literasi keuangan di Indonesia baik.
Berdasarkan data OJK, kerugian yang dialami masyarakat akibat investasi bodong sepanjang 2018 hingga 2022 sudah mencapai Rp 126 triliun. Deputi Komisioner Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito sebeliumnya mengatakan, nilai itu diprediksi bisa lebih besar lagi karena masih ada korban yang tidak melaporkannya atau silent victim.
Adapun penyebab maraknya investasi ilegal di Indonesia dari sisi pelaku adalah kemudahan membuat aplikasi, web, dan penawaran melalui media sosial, serta banyak server di luar negeri yang dipakai untuk mengelabui. Sementara dari sisi korban atau masyarakat, penyebabnya yaitu mudah tergiur bunga tinggi dan belum paham investasi.