Rupiah Diprediksi Melemah ke 15.300/US$ Imbas Perlambatan Ekonomi Cina

ANTARA FOTO/Subur Atmamihardja/wsj/foc.
Teller melayani jual beli mata uang Dolar AS di sebuah tempat penukaran uang, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Penulis: Zahwa Madjid
5/9/2023, 09.53 WIB

Nilai tukar rupiah menguat 0,01% ke level 15,240 per dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan hari ini, Selasa (5/9). Kendati demikian, pergerakan rupiah masih berpotensi melemah tertekan sentimen dari Cina.

Analis Lukman Leong menilai rupiah diperkirakan akan melemah di tengah sentimen risk off di pasar setelah data PMI sektor jasa Cina yang lebih lemah dari perkiraan. Rupiah terlihat akan bergerak dalam rentang 15.200-15.300 per dolar.

Analis rupiah Ariston Chendra mengatakan dalam risetnya, perlambatan ekonomi dan krisis utang properti di Cina bisa jadi memicu sentimen negatif pasar terhadap aset berisiko hari ini. Data PMI sektor jasa Cina bulan Agustus yang dirilis pagi ini menunjukkan angka 51,8 atau di bawah ekspektasi 53,6.

Sentimen pasar terhadap aset berisiko terlihat negatif pagi ini dengan penurunan indeks saham Asia dan pelemahan nilai tukar regional terhadap dolar AS di pembukaan pagi ini.

“Selain itu, pasar juga masih mempertimbangkan kemungkinan suku bunga acuan AS dipertahankan di level tinggi karena inflasi AS masih belum mencapai target,” dalam risetnya. Ariston memprediksi potensi pelemahan dalam rentang 15.280-15.300, dengan potensi support di sekitar 15.230.

Melansir Bloomberg, mayoritas uang Asia lainnya bergerak melemah terhadap nilai tukar dolar AS. Seperti, yen Jepang yang turun 0,12%, dolar Hong Kong turun 0,06%, dolar Singapura turun 0,14%, peso Filipina anjlok 0,26%, yuan Cina turun 0,21%, ringgit Malaysia turun 0,05%, dan baht Thailand terkoreksi 0,34%.

Tekanan Sektor Manufaktur Cina

Sementara itu survei resmi yang dirilis pemerintah Cina menunjukkan, aktivitas manufaktur terkontraksi selama lima bulan berturut-turut pada Agustus. Data terbaru ini semakin memberi tekanan lebih besar terhadap stimulus guna menopang pertumbuhan ekonomi di tengah lemahnya permintaan baik di dalam maupun luar negeri.

Meski demikian, ada kabar baik dari survei tersebut. Pesanan baru kembali meningkat untuk pertama kalinya dalam lima bulan terakhir.  Pemilik pabrik mengindikasikan bahwa harga produsen membaik untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan terakhir meskipun sektor jasa secara luas terus mengalami tren penurunan.

Mengutip Reuters, data Biro Statistik Nasional menunjukkan bahwa indeks manajer pembelian resmi (PMI) naik menjadi 49,7 dari 49,3 pada Juli, berada di bawah level 50 poin yang berarti kinerja masih terkontraksi. Namun, angka tersebut di atas perkiraan sebesar 49,4.

PMI memberikan petunjuk pertama tentang bagaimana perekonomian negara terbesar kedua di dunia ini berjalan pada Agustus, yang disusul buruknya data perdagangan, pabrik dan ritel pada bulan Juli. Namun, kondisinya sebenarnya tidak memburuk meskipun survei menunjukkan pabrik-pabrik terus berada di bawah tekanan.

“Masih terlalu dini untuk mengatakannya, tetapi data hari ini menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas pertumbuhan secara berurutan pada kuartal ketiga masih mungkin terjadi,” kata Louise Loo, ekonom senior di Oxford Economics.

Namun, ia memberikan catatan bahwa aktivitas pertumbuhan akan meningkat terutama jika stimulus mulai berdampak pada perekonomian. Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini berisiko tak mencapai target pertumbuhan yang dipatok pemerintah sebesar 5%.

Reporter: Zahwa Madjid