Gejolak keuangan global yang dipicu oleh pandemi Covid-19 hingga perang Rusia dan Ukraina memicu masalah keuangan pada beberapa negara. Sejumlah negara telah menyatakan diri atau dinyatakan bangkrut lantaran gagal membayar utang.
Salah satu negara yang pada tahun ini menyatakan diri dalam kondisi bangkrut adalah Pakistan. Negara di kawasan Asia Selatan ini menghadapi krisis ekonomi yang telah melebar ke krisis multidimensi. Masih di kawasan Asia Selatan, Sri Lanka juga sedang mengalami kebangkurtan dan kini menghadapi krisis kemanusiaan.
Berdasarkan Global Crisis Response Group dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis pada tahun lalu, sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara sejak tahun lau menghadapi setidaknya satu dimensi krisis pangan, energi dan sistem keuangan. Sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara yang sangat rentan terhadap krisis biaya hidup ditambah krisis lainnya.
Penyebab pasti kesengsaraan negara-negara ini bervariasi. Namun, semua mendapatkan imbas dari melonjaknya biaya untuk makanan dan bahan bakar akibat perang Rusia melawan Ukraina yang melanda tepat ketika gangguan terhadap pariwisata dan aktivitas bisnis lainnya akibat pandemi virus corona baru mulai memudar.
Ketegangan ekonomi memicu protes di banyak negara. Menurut PBB, lebih dari separuh negara termiskin di dunia berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi. Beberapa krisis terburuk terjadi di negara-negara yang sudah hancur oleh korupsi, perang saudara, kudeta, atau bencana lainnya. Mereka bingung, tetapi dengan beban penderitaan yang tidak semestinya.
Berikut daftar negara yang sudah bangkrut:
Pakistan
Menteri Pertahanan Pakistan Khwaja Asif pada awal tahun ini menyatakan bahwa negaranya sudah bangkrut. Negara Asia Selatan ini mengalami kesulitan keuangan dan telah menjadi pasine IMF sejak sebelum pandemi Covid-19. Pakistan mendapatkan dana talangan dari IMF sebesar US$ 6 miliar pada 2019 dan tambahan US$ 1,1 miliar pada 2020 untuk penanganan banjir.
IMF juga telah menyetujui dana talangan kepada pakistan sebesar US$ 3 miliar pada tahun ini. Dewan Eksekutif IMF mengatakan pada Juli lalu bahwa dana tersebut akan disalurkan selama kurang lebih sembilan bulan. Sebanyak $1,2 miliar (setara Rp18 triliun) akan segera dicairkan.
Negara ini mengalami inflasi tinggi dan hancurnya nilai mata uang di dalam negeri. Harga barang-barang pokok seperti susu telah melonjak dan menyebabkan berbagai permasalahan sosial.
Afganistan
Afganistan telah terhuyung-huyung dari krisis ekonomi yang mengerikan sejak Taliban mengambil alih usai AS dan sekutu NATO-nya menarik pasukan mereka pada 2021. Bantuan asing yang telah lama menjadi andalan praktis terhenti. Amerika Serikat pun memberlakukan sanksi, menghentikan transfer bank, dan melumpuhkan perdagangan, menolak untuk mengakui pemerintah Taliban.
Argentina
Argentina menghadapi kondisi ekonomi kronis ditandai lonjakan inflasi, fluktuasi suku bunga, devaluasi mata uang, hingga situasi hukum dan ketertiban yang meresahkan. Ekonomi Argentina yang pernah menjadi pusat ekonomi di Amerika Selatan ini kini bergulat dengan tingkat inflasi tahunan yang mencapai lebih dari 50%. Beberapa ahli bahkan melihat angka inflasi sebenarnya bahkan sudah mencapai 15% karena harga-harga makanan, bahan bakar, dan obat-obatan melonjak.
Suku bunga negara ini juga berfluktuasi di tengah upaya untuk mengekang inflasi dan menstabilkan mata uang. Bank Sentral Argentina telah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan situasi moneter, tetapi langkah-langkah ini telah menyebabkan fluktuasi suku bunga. Kerusuhan sipil juga kerap muncul di negarsa ini. Insiden penjarahan dan protes semakin meningkat.
Argentina adalah pasien lama IMF dengan pinjaman terbesar di antara negara lainnya. Hingga awal bulan ini, pinjaman Argentina ke IMF sudah mencapai US$ 44 miliar.
Sri Lanka
Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi yang sudah menjalar ke krisis multidimensional. Pemerintahnya sendiri sejak tahun lalu telah menyebut kondisinya sudah runtuh total.
Tanda-tanda potensi suramnya ekonomi Sri Lanka sebenarnya sudah ada sejak klan Rajapaksa yang kuat merebut kembali kendali negara setelah kemenangan besar dalam pemilihan umum pada November 2019. Politik dinasti mereka yang memecah belah, dikombinasikan dengan keputusan keuangan yang buruk membawa Sri Lanka menuju kehancuran.
Pandemi memang menjadi titik bencana bagi ekonomi negara yang bergantung pada pariwisata ini. Namun, jalan yang diambil Sri Lanka menuju kehancuran sudah dimulai jauh sebelum pandemi.
Hampir sepertiga penduduk Sri Lanka kini kesulitan mengakses pangan. Setiap keluarga terpaksa menghabiskan lebih dari 70% pendapatan mereka untuk makanan. Kini bahkan banyak warga Sri Lanka yang harus memakan nangka setiap hari agar tak kelaparan. Tanaman ini banyak tumbuh di Sri Lanka dan dijual dengan harga yang murah.
Laos
Laos yang kecil dan terkurung oleh daratan adalah salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat hingga pandemi akhirnya melanda. Seperti Sri Lanka, utang Laos melonjak dan kini tengah dalam pembicaraan dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dolar. Pembicaraan ini mendesak mengingat keuangan pemerintah Laos sangat lemah.
Cadangan devisa Laos kurang dari dua bulan impor, kata Bank Dunia. Mata uangnya, kip telah terdepresiasi 30%, memperburuk kesengsaraan yang dihadapi negara ini. Kenaikan harga dan hilangnya pekerjaan karena pandemi mengancam akan memperburuk kemiskinan.
Myanmar
Pandemi dan ketidakstabilan politik telah menghantam ekonomi Myanmar, terutama setelah tentara merebut kekuasaan pada Februari 2021 dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi. Kondisi ini membawa sanksi Barat yang menargetkan kepemilikan komersial yang dikendalikan oleh tentara, yang mendominasi ekonomi.
Lebih dari 700 ribu orang telah melarikan diri atau diusir dari rumah mereka oleh konflik bersenjata dan kekerasan politik. Situasinya sangat tidak pasti, pembaruan ekonomi global baru-baru ini dari Bank Dunia mengecualikan perkiraan untuk Myanmar untuk 2022-2024.
Zimbabwe
Inflasi di Zimbabwe melonjak di atas 100% meningkatkan kekhawatiran negara tersebut dapat kembali ke hiperinflasi seperti tahun 2008 yang mencapai 500 miliar persen. Kondisi ini menumpuk masalah pada ekonominya yang sudah rapuh.
Zimbabwe berjuang untuk menghasilkan arus masuk yang memadai dari dolar AS yang dibutuhkan untuk ekonominya yang sebagian besar dibiayai dengan dolar. Ekonomi negara ini telah terpukul oleh tahun-tahun deindustrialisasi, korupsi, investasi rendah, ekspor rendah dan utang tinggi.
Zimbabwe mengalami kebangkrutan pada 2008 karena terlilit hutang sebesar US$ 4,5 Miliar atau sekitar Rp65,1 Triliun. Negara ini bahkan tidak dapat membayarkan utang selama lebih dari 20 tahun.