Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimatan Timur memunculkan kehawatiran atas potensi ketimpangan sosial maupun ekonomi antara penduduk lokal dengan pendatang. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena sempat terjadi di Brazil dan Malaysia.

Kondisi itu mendapat perhatian khusus dari Ekonom Senior INDEF Mohamad Fadhil Hasan dan Direktur Celios Bhima Yudhistira. Bhima, bahkan memperkirakan ketimpangan di dua negara tersebut berpotensi terulang di IKN.

Malaysia misalnya, memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada Oktober 1995, yang kemudian diikuti dengan migrasi ASN atau pegawai pemerintah dengan iming - iming program subsidi hingga pinjaman pemerintah.

Dengan perpindahan ASN Malaysia secara besar - besaran, bagi Bhima akan memunculkan kesenjangan pada saat awal pendirian ibu kota. Kemudian menciptakan gap pendapatan karena ASN juga mendapat tunjangan dari pemerintah.

"Penduduk lokal tidak menerima banyak manfaat, karena para ASN justru belanja di Kuala Lumpur saat weekend. Sehingga ekonomi tetap berputar di Kuala Lumpur," kata Bhima, kepada Katadata, Kamis (23/11).

Bahkan Fadhil menyebut, pemindahan ibu kota Kuala Lumpur ke Putrajaya juga belum sepenuhnya berhasil. Padahal, jarak antara dua wilayah ini hanya sekitar 25 kilimoter, atau sekitar 30 - 40 menit jika berkendara.

"Putrajaya itu belum menjadi kota yang hidup, di malam hari sepi, belum banyak masyarakat yang pindah ke situ. Padahal jarak dengan Kuala Lumpur dekat," tambahnya.

Sementara di Brazil, bagi Bhima, perpindahan itu bukan tanpa masalah. Karena pemindahan ibu kota negara dari Rio de Jane ke Brasilia yang dibangun dari tahun 1956 hingga 1961 ini justru memunculkan segregasi dan gentrifikasi.

Saat itu, menurut Bhina, pemerintah Brazil justru mendahulukan pembangunan pemukiman - pemukiman elit yang harganya mahal untuk warga menengah atas. Namun tidak mengakomodasi perumahan bagi warga kelas bawah.

"Sehingga yang terjadi adalah ketimpangan yang cukup ekstrim, angka kriminalitasnya juga meningkat di suburban, atau di pinggiran ibu kota negara yang baru," ungkapnya.

Hingga akhirnya kata Bhima, menciptakan gentrifikasi karena pemukiman mewah ada di situ. Sementara masyarakat lokal dan miskin terpinggirkan, serta jauh dari akses sekolah, rumah sakit swasta dan berbagai fasilitas lain yang hanya dapat dinikmati di kawasan elit.

Hal senada diungkapkan Fadhil. Pemindahan ibu kota ke Brasilia juga dinilai tidak sesuai harapan, karena pemerintah harus membangun dari nol dan tidak ada penghuni yang menduduki wilayah tersebut pada awalnya.

"Karena jauh dari ibu kota lama dan harus pakai pesawat. Kemudian ibu kota baru dikelilingi kawasan kumuh. Jadi pemindahan ke Brasilia sampai sekarang gagal dalam konteks ibu kota yang tumbuh sesuai fungsinya, tujuan awal pemindahan itu," jelasnya.

Antisipasi Ketimpangan Sosial

Untuk mengantisipasi ketimpangan di IKN, Bhima menyarankan serapan tenaga kerja lokal lebih diutamakan. Kedua dari sumber bahan baku konstruksi, berasal dari kontraktor atau vendor yang mengerjakan proyek ini dipastikan berasal dari daerah IKN.

Yang ketiga adalah perencanaan wilayah RT, RW, tata ruang di IKN jangan sampai menimbulkan gentrifikasi atau kesenjangan antara perumahan elit dengan perumahan ASN, ataupun perumahan penduduk lokal.

"Dan dipastikan juga, perumahan - perumahan yang disediakan untuk masyarakat lokal bisa dikomunikasikan dengan pengembang. Mereka tetap harus memperoleh akses transportasi, sanitasi, air bersih, energi, sarana pendidikan dan kesehatan yang kemudian jaraknya dekat atau terjangkau," tegasnya.

Selain itu, perlu adanya pengaturan tarif kesehatan dan pendidikan walaupun dari instansi swasta. Sehingga, penyediaan fasilitas tersebut tidak terlalu bersifat komersil dan bisa dijangkau oleh setiap orang.

Berikutnya lagi, menurut Bhima, perlu adanya partisipasi masyarakat lokal dalam menentukan tata wilayah perencanaan IKN dengan mengedepankan prinsip keterbukaan serta transparansi sehingga siapa saja bisa terlibat dalam pembangunan proyek IKN.

"Plus mengatur pengaduan, kalau ada masyarakat lokal yang tidak dilibatkan atau hak-haknya kemudian menabrak kepentingan komersil, maka langsung ditanggapi otoritas IKN sehingga proyeknya lebih inklusif," terangnya.

Sebagai informasi, Presiden Indonesia Joko Widodo mendorong pemindahan ibu kota Indonesia ke luar Jawa. Lokasi ibu kota baru meliputi sebagian besar wilayah administrasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur.

Pembangunan IKN ini merupakan salah satu proyek prioritas strategis yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024. Berdasarkan data Kemenkeu, pembangunan proyek IKN ini akan menghabiskan dana Rp 466 triliun yang berasal dari APBN, skema kerjasama pemerintah - KPBU, pendanaan internasional dan lainnya.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari