Jumlah utang pemerintah pada periode ini tercatat hampir Rp 8.000 triliun tepatnya Rp 7.950,52 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 37,68%. Berdasarkan buku APBN KiTa edisi November 2023, nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir tahun lalu dan masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, tingginya nilai utang pemerintah dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Tanah Air. Karena, akibat utang yang tinggi, pemerintah berfokus pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai defisit anggaran dan proyek pembangunan.
“Kalau diteruskan, uang buat ke sektor riil tersedot ke SBN ini bisa menjadi fenomena debt overhang,” ujar Bhima, Rabu (29/11).
Sebagai informasi, debt overhang adalah fenomena saat hutang yang berlebihan mengacu pada beban hutang yang begitu besar. Sehingga tidak dapat mengambil hutang tambahan untuk membiayai proyek-proyek di masa depan.
Selain itu, Bhima juga mengatakan konsekuensi dari utang pemerintah jika berbentuk utang luar negeri, berarti pemerintah harus mencari valuta asing yang lebih banyak. Biasanya, ekspor bisa menyumbang pertumbuhan debt to service ratio. Namun, ia menilai untuk saat ini ekspor belum bisa diandalkan karena para investor masih ambil sikap wait and see.
Debt to service ratio adalah rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah pusat terhadap penerimaan transaksi berjalan.
“Dengan pertambahan hutang ini debt to service ratio akan memburuk di 2024,” ujar Bhima.
Bhima pun mengatakan jika setiap pembayaran utang mengambil dari valas, kinerja ekspor dan investasinya akan berpengaruh tidak baik kepada nilai tukar rupiah yang bisa melemah. Ia pun memperkirakan utang di akhir tahun akan meningkat untuk front loading kebutuhan awal tahun.
“Tahun ini November Desember kan terjadi lonjakan penerbitan utang pemerintah. 2024-2025 banyak utang jatuh tempo. Jadi yang disebut neto penerbitan utang itu pemerintah membayarkan utang yang kemarin dan menerbitkan utang baru. Jadi sebenarnya membayar utang kemarin yang jatuh tempo dengan penerbitan utang baru,” ujar Bhima.